Sementara, kalau ada sengketa terkait dengan hasil pemilu, maka yang berwenang memutuskannya hanyalah Mahkamah Konstitusi.
Jadi, hakim-hakim yang terlibat dalam putusan perkara nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst itu terindikasi kuat tidak profesional dalam menjalankan tugasnya.
Saya setuju dengan pendapat bahwa sejak awal seharusnya majelis hakim menolak gugatan Partai Prima, atau menyatakan “niet ontvankelijke verklaard” (N.O.), bahwa gugatan tersebut tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil.
Sebab, Pengadilan Negeri memang tak bewenang mengadili perkara tersebut.
Baca Juga: Wolfgang Pikal Lebih Menantang di Papua
Kedua, motif putusan itu patut dipertanyakan. Sanksi perdata umumnya cukup dilakukan dengan ganti rugi pihak tergugat kepada pihak penggugat.
Paling jauh, PN Jakarta Pusat mestinya hanya memerintahkan KPU untuk mengulang kembali proses verifikasi terhadap Partai Prima, dan bukannya memerintahkan penundaan Pemilu secara keseluruhan.
Meskipun tuntutan menunda proses Pemilu masuk dalam materi gugatan, mestinya majelis hakim mengetahui bahwa tuntutan tersebut berada di luar ranah dan kewenangan mereka.
Baca Juga: Tewaskan 17 Orang, Erick Tohir Perintahkan Pertamina Usut Tuntas Kebakaran di Depo Plumpang
Sehingga harus diselidiki apa motif mereka membuat putusan hukum soal penundaan pemilu tersebut.
Putusan itu bukan hanya telah mengacaukan jangkauan hukum perdata, tapi juga bisa mengacaukan hukum tata negara.
Yang jelas, putusan semacam itu telah menodai integritas majelis hakim PN Jakarta Pusat.
Dan ketiga, kasus putusan PN Jakarta Pusat ini tidak boleh dibiarkan, meskipun KPU telah mengajukan proses banding.
Baca Juga: Data Fakta Penguasaan Bola Terendah Barcelona Bersama Xavi Hernandez