”Sekarang sudah terkumpul 100-an lebih naskah, dokumen, atau manuskrip (tulisan tangan). Untuk buku-buku cetak tua, sudah 200-an lebih. Sebagian sudah kami digitalisasi dan kami publikasikan ulang,” ucap pria 32 tahun tersebut saat dihubungi Jawa Pos Kamis (22/12) pekan lalu.
Menemukan, mengumpulkan, dan mengamankan barang bersejarah tersebut bukan perkara mudah.
Sering kali kitab-kitab maupun dokumen-dokumen milik para ulama besar masa silam tersebut sudah teronggok di pojokan gudang. Kondisi kertasnya juga sudah rapuh.
Meski ada pula yang masih tersimpan rapi di rak buku lawas. Namun sudah tidak tersentuh puluhan tahun.
”Saya pernah ngambil tumpukan buku kuno yang sudah ditaruh keluarga di atap rumah malah,” ujar Ayung.
Maksud Ayung adalah wuwung, istilah Jawa untuk menyebut ruangan antara genting dan asbes yang kadang dijadikan gudang. Saking lamanya arsip-arsip dan buku-buku kuno itu tidak tersentuh, ada yang sampai muncul mitos-mitos.
Itu membuat Ayung dkk kesulitan mendapatkan izin mengakses buku-buku kuno tersebut.