“Adapun aspek kebebasan pers dan media yang diperbandingkan meliputi upaya penyensoran dari pemerintah, gangguan terhadap jurnalis, bias media, korupsi media, dan swasensor media. Melalui perbandingan enam negara, secara umum terlihat bahwa kondisi kebebasan pers dan media memiliki linieritas dengan tren penurunan demokrasi. Di negara dengan penurunan skor demokrasi, skor kebebasan pers dan media juga mengalami penurunan.” (Ramadlan dan Masykuri, 2021).
Baca Juga: Guru Honorer SDN Cibeureum 1 Kota Bogor Batal Dipecat, Warganet Puji Bima Arya
Praktik pengelolaan pemerintahan seperti di atas, jelas bukan yang dikehendaki oleh demokrasi.
Sehingga, tidak aneh bila dalam pelaksanaan Pemilu misalnya, sebagai alat ukur dan quality-control untuk keberlangsungan demokrasi, terjadi tidak sedikit manipulasi dan skema rekayasa mulai dari data pemilih, tahapan Pemilu, masa kampanye, anggaran pelaksanaan Pemilu.
Terjadinya praktik jual-beli suara yang dirasa agak sulit untuk bisa dijerat oleh undang-undang Pemilu, yang dalam banyak kondisi, regulasi tersebut hanya dibuat sebagai upaya back-up untuk memberi celah pada setiap kesempatan praktik nakal para oknum peserta Pemilu.
Baca Juga: Gempa Bumi Magnitudo 3,3 Guncang Seluma Bengkulu
Sehingga, pada keterpilihan pejabat legislatif dan eksekutif sebagai produk Pemilunya, menciptakan eskalasi politik kontra-demokrasi yang tinggi melalui kebijakan-kebijakan yang tidak populis bagi kebermanfaatan masyarakat secara luas.
Pada sisi yang lain, masyarakat kita, dalam prosentase yang perlu diuji secara serius, mengalami kegagapan dalam memaknai sekaligus beradaptasi dengan demokrasi.
Satu kelompok masyarakat merasa perlu perlindungan privasi untuk kebebasan ekspresi yang sebetulnya memberi potensi destruksi dan friksi sosial yang menggangu ketertiban umum.
Baca Juga: Harga iPhone 15 Tidak Naik, Ini Alasannya
Sebaliknya, pada kelompok masyarakat lain, terjadi over-reaksionis terhadap berbagai cara berpikir kritis, diskursus, paradigma, yang bahkan dalam periode kedua Presiden Jokowi, tumbuh subur aksi lapor-melapor hanya karena disebabkan oleh ketakutan subjektif atas potensi terjadinya destruksi sosial menurut sebagian kelompok yang merasa tidak tidak cocok atas fenomena yang mereka saksikan. Kondisi seperti ini mencerminkan bahwa bangsa ini belum sepenuhnya siap untuk menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan dengan cara pandang yang mapan dan dewasa.
Bila kondisi diatas terus dibiarkan, akan terjadi semacam pembenaran atas praktik yang dianggap lumrah meskipun salah.
Pemilu yang manipulatif, “ketakutan negara” atas arogansi oknum elite kekuasaan, serta pembiaran aksi-aksi diskriminatif terhadap kelompok marjinal yang menjadi kelompok masyarakat kelas dua, serta potensi kerusakan lain atas ketidaksiapan Negara dan bangsa terhadap implementasi demokrasi yang ideal.
Baca Juga: Masa Depan Irene Red Velvet Belum Pasti, ReVeluv Cemas
Salah satu bentuk yang bisa menjadi kontra-narasi atas penyimpangan demokrasi di atas, adalah hadirnya kesadaran kolektif masyarakat untuk memberi respon dalam berbagai bentuk, dengan kapasitas dan kualifikasi masing-masing individu atau kelompok, yang mampu memberi dampak distingtif untuk keberlangsungan tata kelola pemerintahan yang secara linear-korelasional berdampak baik kepada seluruh warga Negara Indonesia.
Artikel Terkait
Tokoh Non Partai di Kota Bogor Lebih Dikenal, Vinus Sebut Masyarakat Mulai Tidak Percaya Terhadap Kader Partai
Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan Komisi VI DPR Gandeng ITB Vinus Bogor Untuk Berantasan Monopoli Ekonomi
Datangi ITB Vinus Bogor, Kepala LL Dikti Wilayah IV Jawa Barat dan Banten Bilang Begini
Survei LS Vinus: Partai Gerindra Masih Kuasai Kabupaten Bogor, PPP dan Demokrat Terancam Tak Dapat Kursi
Survei LS Vinus Ungkap Elektabilitas Prabowo Tertinggi di Kabupaten Bogor, Anies dan Ganjar di Posisi Ini
CASED : Dugaan Praktik Suap Dalam Rekrutmen Bawaslu Perlu Ditelusuri
Yayasan Visi Nusantara Maju Menerima Tanah Wakaf Untuk ITB Vinus Bogor