Oleh Hazairin Sitepu
Angin memang tidak bertiup kencang di Rempang tetapi pohon-pohon seperti tampak meliuk.
Ombak pun tidak mendebur keras di Sembulang tetapi pantai seperti terasa diterjang badai dan gelombang pasang.
Begitulah kira-kira gambaran suasana hati orang-orang Melayu di Pulau Rempang.
Baca Juga: Terjadi Kebakaran di Rumah Tinggal Kawasan Kebon Jeruk, Diduga Gara-gara Ini
Tokoh-tokoh dan masyarakat Melayu sejak 7 September memang melakukan perlawanan kepada pemerintah akibat sengketa agraria atas tanah Pula Rempang.
Dan, bentrokan pun terjadi. Pemerintah lalu mengerahkan kekuatan bersenjata: polisi dan TNI, untuk menghadapi masyarakat yang melakukan perlawanan itu.
Sekolah dan murid-murid pun ditembaki, dengan peluru gas airmata. Tokoh-tokoh yang memimpin perlawanan itu pun ditangkap. Rempang mencekam.
Baca Juga: 2 Lowongan Kerja Settlement di Setiabudi Dibuka, Lihat Deskripsi dan Persyaratannya
Pemerintah, dalam perencanaan investasi jangka panjang, memberikan konsesi kepada Xinyi Glass Holdings Ltd atas 2.000 hektoare dari kurang-lebih 17.000 hektoare lahan Pulau Rempang. Masa konsesi 80 tahun.
Lalu investor dari Tiongkok itu bekerja sama PT Makmur Elok Graha akan membangun Rempang Eco City. Itu masalahnya.
Protes dan perlawanan tidak hanya karena Rempang kelak berubah fungsi, tetapi 16 Kampung Tua Melayu yang tidak ingin dibuldoser.
Baca Juga: Viral! Balita Jalan Kaki Mendaki Gunung Kerinci, Sang Ayah Ungkap Cerita Sebenarnya
Lalu, masyarakat yang mau digusur itu entah ke mana akan direlokasi. Sampai akhir pekan ketiga September, masyarakat Rempang masih bertahan dengan sikap tidak ingin direlokasi.
Saya dua hari pergi ke beberapa tempat di Pula Rempang. Bertanya dan diskusi dengan beberapa tokoh.