Namun, beberapa hal yang kemudian menjadi janggal diantaranya adalah tidak adanya pencopotan keanggotaan Budiman Sudjatmiko sebagai anggota dan kader PDIP oleh ketua umum, kemudian diterimanya Budiman Sudjatmiko oleh Prabowo Subianto yang dalam sejarah politik masa lalu, selalu berhadap-hadapan secara frontal.
Baca Juga: Profil SMPN 1 Dramaga Dalam Angka, Sekolah yang Siswanya Kesetrum Listrik
Budiman Sudjatmiko, yang dalam beberapa Pemilu seringkali menegaskan bahwa Prabowo memiliki dosa besar kemanusiaan khususnya dalam tragedi Semanggi 1998, hari ini saling mengepalkan tangan untuk berjalan berdukungan menuju suksesi presiden 2024. Ada apa sebenarnya?
Dalam pandangan penulis, sekurang-kurangnya ada tiga hipotesis yang bersifat fenomenologis melihat manuver akrobatik yang dilakukan Budiman Sudjatmiko ini.
Pertama, ini tentang rumah besar PDIP yang sudah semakin rasionalistik-pragmatik. Karakter PDIP yang berangkat dengan nilai-nilai fundamental perjuangan Boeng Karno, lambat laun berubah keluar dari itu.
Baca Juga: CASED : Dugaan Praktik Suap Dalam Rekrutmen Bawaslu Perlu Ditelusuri
Dinamika dalam internal PDIP membentuk banyak paksi yang sudah tidak bisa lagi “patsun” pada nilai-nilai marhaenisme Boeng Karno. Indikatornya bisa dilihat dari banyak kasus korupsi pejabat eksekutif dan legislatif yang melibatkan oknum kader PDIP, konstruksi politik luar negeri yang makin cair dan kehilangan ambisi untuk bisa “berdikari”, dan banyaknya regulasi dalam negeri yang tidak lagi pro terhadap rakyat kecil.
Analoginya, ketika sebuah rumah sudah tidak mampu memberi ruang merdeka bagi penghuninya, maka opsi rasionalnya adalah memilih atau membangun rumah yang baru.
Maka pilihan Budiman Sudjatmiko berkoalisi dengan Prabowo adalah sebagai upaya mencari atau membangun rumah baru yang lebih mengakomodir dan mengapresiasi dirinya.
Baca Juga: PLN Teken Kerjasama dengan TANESCO, Kembangkan Ekosistem Ketenagalistrikan di Tanzania
Alasan kedua, manuver politik Budiman Sudjatmiko adalah bagian dari grand-design politik PDIP yang saat ini sadar bahwa hanya pintu elektabilitas populis yang bisa dikehendaki rakyat Indonesia untuk terpilih sebagai Presiden 2024.
Sosok Ganjar yang digadang-gadang kuat dan merakyat, nyatanya dalam banyak survey elektabilitas belakangan, trend-nya cenderung terus menurun.
Sehingga PDIP tidak ingin membuka pintu resiko yang besar dengan tidak “menguasai” sosok Prabowo Subianto yang saat ini tidak hanya memimpin elektabilitas capres, namun juga punya kedekatan khusus dengan Megawati Soekarno Putri. Ini yang penulis sebut di atas sebagai “rasionalitik-pragmatik” PDIP hari ini.
Baca Juga: Ketua Komisi D DPRD DKI Minta Penerapan Ganjil Genap Berlangsung 24 Jam, Ini Alasannya
Hipotesis terakhir adalah tentang karakter primordial politik yang menghendaki sebuah perubahan bahkan pada tingkat yang paling ekstrem, dan karakter ini yang kemudian termanifestasi dari seorang Budiman Sudjatmiko untuk melihat potensi membawa Indonesia yang maju dalam kesepakatan banyak pihak dengan terakomodirnya berbagai kepentingan secara dominan dan lebih merata.