Saya baru tiba di Pelabuhan Merah Putih ketika hari sudah sangat petang. Lantunan suara mengaji terdengar merdu dari Masjid Jami’, salah satu masjid tertua di Namlea.
Masjid ini tampak jauh lebih besar dibanding 20 tahun yang lalu. Dua menaranya menjulang ke angkasa.
Kota Namlea Minggu petang hari itu mendung. Tetapi hujan tetap rintik-rintik.
Baca Juga: Kalahkan China, Fajar Alfian dan Rian Ardianto Juara Malaysia Open
Saya, semula, hanya pergi ke pasar untuk belanja ketupat santan, sangkola (singkong parut kukus yang bentuknya mirip bra runcing), sayur bunga pepaya dan ikan cakalang panggang.
Saya sudah puluhan tahun makan ‘makanan kota’. Sesekali memang makan makanan Sunda (nasi liwet, lalapan, sambal oncom). Saya tinggal di Bogor.
Kali ini ingin makan makanan tradisional Ambon. Mumpung sedang berada di Namlea, ibukota kabupaten Pulau Buru, itu.
Ini gara-gara Supri. Ponakan saya, yang menjadi pengusaha sejak usia sangat muda. Bakat berbisnisnya turun dari almarhum ayahnya: Zainal Abidin.
Baca Juga: Juarai Berbagai Pertandingan, Raket Jenis Ini yang Digunakan Viktor Axelsen
“Kita singgah di pelabuhan. Keadaannya sudah berubah. Biar sekalian om liat sebelum balik ke Bogor,” kata Supri.
Pergilah kami ke Pelabuhan Merah Putih itu. Selain Supri, ikut pula Jamal Thio (adik sepupu) dan Imam Khalil (ponakan dari Ternate).
Jaraknya dekat dari pasar. Juga jalan menuju Pelabuhan Merah Putih sepi mobil. Hanya tiga menit sudah tiba di halaman parkir pelabuhan.
Memang belum banyak mobil di kota Namlea. Mungkin saja lebih banyak mobil di Kelurahan Curug Mekar, Kota Bogor, dibanding jumlah mobil di ibukota Kabupaten Buru itu.