“Salamaki Antama Ri Lalang Embaya. Rambang Seppanna I Amma,” itu kalimat yang tertulis di atas gerbang. Artinya, “Selamat datang di kawasan adat Amma Toa.” Lalu ada tulisan Lontara di bawa kalimat bahasa Konjo itu.
Masyarakat adat suku Kajang memang berbahasa Konjo. Bahasa ini berbeda dari bahasa Bugis, Mandar, Toraja, Duri, tetapi dekat ke bahasa Makassar. Dialeknya mirip bahasa Makassar. Sulawesi Selatan memang memiliki banyak suku yang bahasanya berbeda-beda.
Tiga tokoh Kajang memandu saya dan rombongan masuk ke wilayah adat Tana Toa. Karaeng Kajang yang juga bergelar Labbiriya Ri Kajang Andi Rahmat Sahib, Galla Pantama Syarifuddin dan Jaja Ramlah, putri sulung Amma Toa.
Kurang-lebih satu kilometer dari gerbang. Melalui jalan bebatuan yang lebarnya kira-kira dua setengah meter. Rasanya seperti berjalan di atas batu karang yang jaraknya 3 kilometer. Agak cadas memang batu-batu di atas jalan menuju rumah Amma Toa itu.
Saya sering berjalan di atas batu-batu yang cadasnya seperti itu, bahkan lebih cadas, ketika waktu kecil di kampung. Ketika hendak memancing atau mencari siput di kala air surut.
Melewati satu sungai kecil. Tampak ada dua tempat mandi di tepi sungai itu. Satu buat perempuan dan satunya lagi buat laki-laki. Tempat mandi perempuan berada dekat dari jalan yang saya lalui, sementara tempat mandi laki-laki agak ke hulu.
Keduanya terbuat dari batu-batu yang disusun rapi Tidak ada satu gambar pun foto atau pun video yang dapat dibuat di dalam wilayah Amma Toa itu.