”Tentu sangat logis dalam konteks Indonesia. Satu di tengah lemahnya deteksi dini dan kedua, terbatasnya sarana prasarana,” ungkapnya.
Lemahnya deteksi dini sangat berpengaruh lantara kasus ini termasuk emergency. Sehingga, jika telat terdeteksi maka akan sulit tertolong. Lalu, sarana dan prasarana menyangkut hemodialisa.
Keduanya kemudian diperparah dengan kesadaran masyarakat untuk deteksi dini kesehatan anak, behavior dalam melakukan pengobatan sendiri, hingga enggan ke faskes ketika sakit.
”Semua berkontribusi,” keluhnya.
Adanya senyawa EG dan DEG pada obat sirup ini menjadi atensi. Apalagi kejadian di Gambia, WHO menyebutkan ada empat jenis obat batuk dari India yang menjadi penyebab gangguan ginjal akut misterius. Obat tersebut menurut catatan BPOM tidak beredar di Indonesia.
Dalam regulasi persyaratan registrasi produk obat, BPOM sendiri telah menetapkan persyaratan semua produk obat sirup untuk anak dan dewasa tidak boleh menggunakan EG dan DEG.
Tapi bisa saja EG dan DEG terdapat dalam cemaran larutan kimia gliserin atau propilen glikol yang biasa digunakan sebagai zat pelarut tambahan.
BPOM minta industri farmasi yang memiliki produk obat sirup untuk melapor. Terutama yang berpotensi ada cemaran EG dan DEG. (lyn/mia)