Senin, 22 Desember 2025

Regulasi Jangan Cuma di Atas Kertas, PP Kesehatan Harus Akomodasi Pemberian ASI hingga Aborsi

- Jumat, 2 Agustus 2024 | 08:39 WIB
Ilustrasi memberikan ASI kepada bayi (Freepik)
Ilustrasi memberikan ASI kepada bayi (Freepik)

Baca Juga: Perjalanan Fajar Rian Harus Terhenti Usai Tunduk atas Liang Wei Keng dan Whang Chang di Olimpiade Paris 2024

Setiap perempuan yang melakukan aborsi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun (Pasal 463 Ayat 1). Ketentuan ini tidak berlaku dalam hal perempuan merupakan Korban Tindak Pidana perkosaan atau Tindak Pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan yang umur kehamilannya tidak melebihi 14 minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis (Pasal 463 Ayat 2). Ketentuan dalam KUHP 2023 tersebut merupakan harmonisasi dan sinkronisasi dengan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 75 yang memperbolehkan aborsi bagi kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Kemudian, UU No. 12 tahun tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) khususnya hak atas pemulihan kesehatan dan penguatan psikologis (Pasal 70). Ketentuan ini diperkuat melalui UU No 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan yang menegaskan kembali larangan melakukan aborsi, kecuali dengan kriteria yang diperbolehkan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana (Pasal 60). Ketentuan ini selanjutnya diatur secara lebih rinci dalam PP No. 28 tahun 2024.

Menurutnya, jaminan hukum untuk mengecualikan larangan aborsi bagi korban TPKS tidak dapat dilepaskan dari Laporan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengenai kasus aborsi.

Setiap tahunnya, kasus aborsi mencapai 2,4 juta jiwa, di mana sekitar 800 ribu kasus terjadi pada remaja.

Fakta ini diperkuat oleh penelitian Kementerian Kesehatan yeng menemukan bahwa 4,1 persen dari semua angka kematian ibu di Indonesia berkaitan dengan komplikasi akibat keguguran, termasuk aborsi yang tidak aman.

Kemudian, menurut Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), 11-30 persen angka kematian ibu (AKI) di Indonesia disebabkan oleh aborsi yang tidak aman. Data ini jauh lebih tinggi dari World Health Organization (WHO), yang pada 2020 memprediksi aborsi tidak aman berkontribusi sebanyak 4,7 - 13,2 persen terhadap AKI.

"Mirisnya, pada 2018, hanya 46 persen rumah sakit di Pulau Jawa yang memiliki dokter spesialis obstetri dan ginekologi, serta serangkaian layanan esensial yang memadai untuk menyediakan perawatan 24 jam bagi pasien keguguran," ujarnya.

Diakuinya, kehamilan pada korban TPKS ini kerap diakhiri dengan cara aborsi yang tidak aman atau korban menghilangkan nyawa bayi yang baru dilahirkannya. Kondisi ini menjadikan korban TPKS semakin terpuruk dan semakin sulit untuk mendapatkan pemulihan.

Oleh karenanya, kata dia, aborsi yang merupakan bagian dari sistem pemulihan harus tersedia untuk korban.

Baca Juga: HYBE Agensi Musik Korea Selatan Resmi Luncurkan HYBE 2.0: Ungkap Langkah Strategi dan Inovasi Pertumbuhan Baru di Masa Depan

Hal ini menjadi penting untuk mengurangi ancaman gangguan kesehatan mental pada korban akibat tekanan dari adanya kehamilan tidak diinginkan.

Demikian pula untuk mencegah dampak psikologis anak yang dikandung dalam situasi penolakan dan tekanan pada korban untuk membesarkan anak akibat kekerasan seksual.

Dia menilai, PP Kesehatan ini memang memberikan panduan prosedur untuk aborsi akibat tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan.

Misalnya, soal pembuktian surat keterangan dokter atas usia kehamilan sesuai dengan kejadian tindak pidana kekerasan seksual; dan keterangan penyidik mengenai adanya dugaan perkosaan dan/atau kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan (Pasal 118).

Kemudian, pelayanan aborsi hanya dapat dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut dan hanya dapat dilakukan oleh Tenaga Medis dan dibantu oleh Tenaga Kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya sesuai dengam pertimbangan dari Tim Pertimbangan Dokter (Pasal 1 19 sd 123).

Selain itu, keputusan untk aborsi menjadi otoritas pada korban, dimana korban dapat membatalkan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan pendampingan dan konseling (Pasal 124) juga tetap dapat mempertahankan kehamilannya dengan pendampingan.

Tak hanya itu, untuk anak yang dilahirkan dari ibu korban tindak pidana perkosaan dan/atau tindak pidana kekerasan seksual lain apabila tak bisa diasuh sang ibu maka dapat diasuh oleh lembaga asuhan anak.

Anak juga menjadi anak yang dipelihara oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Meski begitu, poin-poin dalam PP kesehatan tersebut dinilai kurang mencukupi. Ami mengingatkan Kementerian Kesehatan, UPTD PPA, Lembaga Layanan Pemulihan untuk melaksanakan dua hal penting lainnya.

Yakni, memberikan informasi hak untuk aborsi pada korban TPKS dan memberikan pil kontrasepsi darurat dalam hal TPKS dilaporkan dalam waktu 3 hari setelah kejadian, dan membangun mekanisme kerja antara aparat penegak hukum, lembaga pendamping korban dan fasilitas kesehatan lanjutan.

"Poin PP Kesehatan belum cukup. Harus ada koordinasi antara kepolisian dengan RS serta pendamping. Di mana proses membangun mekanisme koordinasi ini dapat difasilitasi oleh pemerintah daerah," paparnya.

Menurutnya, penyidik kerap tidak mengetahui hak korban untuk aborsi atau mekanisme kerjanya tidak terhubung dengan fasilitas kesehatan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X