Sebab, mata uang dolar Amerika Serikat (AS) alias USD yang terus menguat.
Ditambah, tingginya ketidakpastian pasar keuangan global meski, peningkatan permintaan ekonomi di dalam negeri masih tetap kuat.
Perry menjelaskan, pertumbuhan ekonomi global melambat disertai dengan tingginya tekanan inflasi, agresifnya kenaikan suku bunga kebijakan moneter, dan ketidakpastian pasar keuangan. Pertumbuhan ekonomi global pada 2023 diprakirakan akan menurun ketimbang 2022.
“Dengan risiko koreksi yang dapat lebih rendah dan resesi yang tinggi di beberapa negara, termasuk AS dan Eropa,” ungkapnya usai rapat dewan gubernur BI.
Selain itum bank sentral di banyak negara terus memperkuat pengetatan kebijakan moneter yang agresif guna merespons tekanan inflasi tinggi tersebut.
Kenaikan Fed Funds Rate (FFR) yang diprakirakan berlanjut sampai awal 2023 dengan siklus yang lebih panjang (higher for longer) mendorong penguatan USD.
Sehingga memberikan tekanan pelemahan nilai tukar di berbagai negara.
Tekanan pelemahan nilai tukar itu semakin meningkat seiring dengan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.