Bagi pelajar seperti Jesi, banyak ha materi pelajaran yang harus dikuasai, hingga tugas kelompok bertubi-tubi, plus kegiatan sekolah lainnya membuat ia sulit membagi waktu. Selain menguasai dan menyelesaikan tugas sekolahnya, ia juga harus memikirkan cara meminta uang kepada orang tua, untuk memenuhi biaya penunjang pendidikan yang harus disiapkan.
Faktor berikutnya adalah keluarga, akhir-akhir ini diakui kesibukan kedua orang tuanya lebih padat dari biasanya. Situasi ini membuat ia lebih nyaman bercerita kepada sahabat atau teman dekat.
Sedangkan lingkungan pertemanan tidak banyak mempengaruhi situasi mental yang ia rasakan. Jesi mengaku sempat berpikir untuk datang dan berkonsultasi dengan psikiater, tetapi belum pernah ia lakukan.
"Cuma kalau kita sudah terbebani oleh masalah keluarga, terus pelajaran di sekolah, kalau kita nggak punya lingkungan pertemanan yang mendukung itu bakal memperburuk mental," tambahnya.
Perasaan cemas dan takut juga pernah dialami oleh remaja Kota Bekasi lainnya, Lia (20), ia memang tidak banyak mengetahui tentang kesehatan mental. Tapi, perasaan cemas, takut, dan stres hampir setiap hari ia rasakan.
Lia mengaku kerap merasa takut dengan sesuatu yang belum terjadi pada dirinya. Rasa takut itu disusul oleh kekhawatiran semua yang ia jalani meleset dari semua yang ia sudah rencanakan.
"Lebih takut sama apa yang belum terjadi sih, khawatir kalau hidup itu tidak berjalan sesuai dengan rencana awal," ungkapnya.
Lia saat ini bekerja sebagai karyawan warung kaki lima di kawasan Bekasi Selatan, rasa takut dan cemas yang ia rasakan sering kali mengganggu pekerjaannya sehari-hari. Satu ketika, ia ditegur oleh pemilik warung lantaran pekerjaan yang seharusnya sudah biasa ia lakukan dan selesai, terbengkalai karena kondisi mental yang ia rasakan.Faktor utamanya kata Lia adalah keluarga. Namun sayang, ia memilih untuk tidak bercerita.