Tak hanya itu, ditemukan juga SKB dari salah satu kades yang menyebut tanah tersebut milik pemerintah.
"Berganti kepemimpinan, berganti pula SKB-nya, ada klaim milik desa dan ada klaim milik Pemerintah. Tapi ganjilnya, salah satu kades sempat mencabut surat tersebut dengan alasan salah administrasi," ungkapnya.
Hingga kini, ahli waris belum menerima kompensasi, baik pembayaran ganti rugi, sewa, atau status jual beli (hibah).
"Sejak masih hidup hingga sesudah meninggalnya Bapak Apandi tahun 2004, sembilan orang ahli warisnya ini belum menerima kompensasi sesuai dengan kesepakatan yang dibangun sejak awal," imbuhnya.
Sejauh ini pihaknya telah menempuh langkah-langkah guna mendapatkan titik temu dari perkara itu. Pihaknya mengklaim telah menyurati Pemerintah Kabupaten Bandung, baik Dewan, Dinas Pendidikan (Disdik) untuk audiensi atau mediasi.
"Pada dasarnya, kami menginginkan adanya titik temu, tapi sayang sampai saat ini belum ada. Kami akan terus melanjutkan, tapi kami tempuh dengan cara yang elegan, sebelum jatuh ke penyelesaian akhir yakni pengadilan," ungkapnya.
Kendati demikian, pihaknya mengaku tidak akan menutup sekolah selama proses perkara masih berlangsung.
Sementara itu, salah seorang staf SDN Margahayu yang tak ingin disebut namanya, mengatakan, gugatan perkara kepemilikan tanah SDN Margahayu sudah berlangsung sejak lama.