Karenanya, DKI Jakarta menyiasati dengan solusi PPDB Bersama.
Anak-anak yang tarlempar dari sekolah negeri yang kemudian sekolah di swasta akan dibiayai penuh oleh Pemprov.
Meski, program ini nyatanya tak begitu diminati oleh sekolah swasta unggulan di Jakarta.
Lalu, masih ada anak yang berasal dari keluarga tidak mampu (jalur afirmasi) yang tidak ditampung oleh sekolah negeri meski masih satu zonasi.
Hal ini menunjukkan sistem PPDB gagal mencapai tujuan utamanya.
Melihat persoalan-persoalan yang terus berulang ini, P2G mendesak Kemdikbud Ristek meninjau ulang dan mengevaluasi total kebijakan yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2017 ini.
Selain itu, pihak inspektorat daerah, Dinas Pendidikan, dan Ombudsman juga diminta agresif melakukan monitoring, pengawasan, dan evaluasi pelaksanaan PPDB dan indikasi kecurangannya.
”Jika terjadi dugaan pungli yang dilakukan guru, kepala sekolah, atau masyarakat hendaknya diberikan sanksi tegas, bahkan dapat diselesaikan melalui jalur hukum pidana,” pungkas Satriwan.
Desakan evaluasi ini pun juga disampaikan sejumlah anggota Komisi X DPR RI.
Diantaranya, Andi Muawiyah Ramly. Politikus PKB itu menyebut, masalah PPDB baik jalur zonasi, afirmasi, dan prestasi ini terus berulang dan tak pernah selesai meski berganti menteri. Karenanya, ia meminta agar kebijakan ini dievaluasi.
“Kami minta ada solusi jelas tentang ini karena kami pun sangat resah melihat demo-demo yang terjadi,” ungkapnya.
Hal yang sama disampaikan Anggota Komisi X Dede Yusuf.
Ia meminta Kemendikbudristek mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan PPDB agar kecurangan-kecurangan tak terulang kembali.
Bila perlu, dia mengusulkan adanya konsep baru untuk PPDB tahun depan.
”Tolong Kemendikbud membuat konsep baru untuk di 2024. Zonasi sebagai hak bagi warga sekitar, tetap ada. Tapi sisanya, bisa kembali ke sekolah lagi,” katanya.