"Maaf duluan ya kang...?", ujar Ray sembari menyebrang dekat halte bis kita. Dikabarkan saat itu, di beberapa lokasi banyak pepohonan yang roboh.
Baca Juga: Kamu Bingung Mau Belanja di Mana? Tenang, Ada Merchant BRI dengan Hanya Chat Sabrina
Terutama pepohonan milik koleksi Kebun Raya Bogor ratusan pohon tercerabut dari akarnya. Kabar itu menyebar begitu cepat sebelum ada pengumuman resmi dari pihak terkait.
Nampaknya Kota Bogor sepi, lengang dari pejalan kaki. Semua masuk rumah dan masih ada dalam kantor. Hanya beberapa kendaraan yang melewati Jalan Ir. Djuanda, juga jalan tokoh legendaris Kapten Tb. Muslihat.
Tak lama suara handphone berdering, seorang sahabat aktivis "Kota Pusaka" mengabarkan sekitar 200 koleksi pohonan pusaka di Kebun Raya Bogor tumbang.
"Inna lillahi....", ucapku singkat. Tentu suasana sore itu masih sepi. Desas desus dan kabar sana sini masih simpang siur tentang bencana alam di Bogor. Belum ada kabar dari Kabupaten Bogor yang memiliki 40 kecamatan. Tentu saja aku kontak keluarga di kampung tentang suasana senja itu.
"Alhamdulillah...", ungkap putriku yang paling besar di kampung aman. "Tidak hujan pah", ungkapnya lagi.
"Amin YRA...", balasku. Kepanikan itu segera sirna di otak. Begitu juga hati semakin tenang setelah ada kabar di kampung kami tidak ada hujan.
Baca Juga: Soal Beras Plastik yang Viral, Ini Kata Profesor IPB University
Memang Kota Bogor terkenal selain kota hujan, juga kota taman bahkan sebutan yang menyeramkan kota halilintar.
Setelah magrib dan jelang isha, kabar tadi sore soal angin puting beliung telah muncul beritanya di banyak televisi juga media sosial.
Seharusnya, setiap peristiwa menjadi renungan bukan sekedar tontonan. Tentu saja dibalik peristiwa ada makna yang harus dipelajari dan bahan renungan.
Bogor memang tidak lepas dari pemberitaan.
Baca Juga: Petani Bawang Merah Sengsara, Tim Ahli Klinik Tanaman IPB University Turun Tangan