Memori kelam itu berasal dari insiden Kanjuruhan (1/10). Dia ingat betul saat senapan polisi meletup. Gas air mata melayang tepat di atas kepalanya. Pemuda 19 tahun itu berada di tribun berdiri gate 12. Dari atas, asap langsung mengepul.
Tiba-tiba, bruk! ’’Suporter dari tribun atas berjatuhan ke bawah,’’ kenangnya. Gilang panik. Dia berusaha kabur. Tapi, matanya terasa perih. Pandangannya tidak jelas. Dia langsung semaput.
’’Pas sadar, saya sudah pakai oksigen di ruang VIP. Badan basah semua,’’ ungkapnya.
Matanya masih merah. Tapi, Gilang langsung bangun. Dia wira-wiri mencari kakak sepupunya, M. Ubaidillah. Dia melihat ada banyak jenazah ditumpuk.
Disambati teriakan minta tolong. Beberapa rumah sakit dia datangi. ’’Ternyata kakak sudah meninggal. Jenazahnya ketemu di Rumah Sakit Wava Husada,’’ tuturnya.
Momen mencari sepupunya itulah yang selalu muncul setiap malam. Sang ayah, Bambang Siswanto, sampai bingung.
’’Sampai kapan anakku bergantung sama obat tidur terus?’’ keluhnya.
Sebab, obat tidur juga dianggap kurang efektif. ’’Kadang baru tidur tiga jam, sudah bangun lagi. Habis itu susah tidur lagi,’’ tambahnya.