Kalau Pasar Besar Itu Dimatikan, Bakal Hancur Karya-Karya Anak Bangsa
Para game developer membutuhkan marketplace game seperti Steam untuk memasarkan karya atau berbelanja referensi. Kebijakan blokir dikhawatirkan bisa menciutkan kreativitas anak-anak muda untuk mencipta.
Laporan : LAILATUL FITRIANI
BERMAIN game sudah menjadi makanan sehari-hari M. Barkah Rahmanu Mauludi. Baik itu permainan tradisional maupun digital. Dari sanalah minatnya menjadi game developer bertumbuh: saat merasakan asyiknya membuat sebuah permainan.
”Pas SMA saya mulai membuat game sederhana bermodal kertas, pensil, dan penghapus dan join semacam organisasi IT (information technology) supaya bisa menciptakan game berbasis digital. Jadi, bukan saya saja yang merasakan kebahagiaan dari membuat game, tapi juga orang di sekitar yang memainkan game buatan saya,” tutur Ludi, sapaan akrabnya.
Merasa tak cukup, pemuda 23 tahun asal Surabaya itu pun belajar bahasa pemrograman/engine secara otodidak lewat YouTube. Beruntung, kedua orang tuanya mendukung penuh. Terlebih dia sudah membuktikan kemampuannya.
”Di tahun pertama saya berkuliah itu saya mendapat klien pertama, seorang mahasiswa akhir yang membutuhkan game developer (pengembang/pencipta permainan) untuk mengembangkan aplikasi game pendidikan buat kebutuhan tugas akhirnya,” kenang alumnus Polteknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) yang kini menjadi game programmer Krenaga Studio itu.