Teleskop tersebut diberi nama dari James E. Webb, administrator kedua NASA yang berperan penting dalam program Apollo. Yakni, serangkaian misi luar angkasa berawak menggunakan pesawat antariksa Apollo.
Pembuatan teleskop canggih itu melibatkan European Space Agency (ESA) dan Canadian Space Agency (CSA). Tim penyusunnya mencapai ribuan ilmuwan dan insinyur dari 14 negara dan 29 negara bagian Amerika Serikat. Pengembangan teleskop dilakukan di Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard NASA (GSFC) di Maryland. Perancangannya memakan waktu hingga 40 juta jam dengan biaya mencapai Rp 142,9 triliun.
Pada teleskop James Webb terdapat sensor inframerah tinggi yang mampu mendeteksi sumber cahaya terjauh sekalipun. Mata manusia hanya bisa melihat hasil citra inframerah yang sudah divisualisasikan.
”Alam semesta ini sangat eksotis. Banyak objek berwarna-warni yang nggak kasatmata. Misalkan kita lihat langit malam, paling cuman kelihatan lingkaran bulan sama bintang kelap-kelip,” kata Mila.
Kalau memakai teleskop yang menengah, tambah dia, kelihatan kawah-kawahnya. ”Objek langit lain yang tidak bisa ditangkap mata secara langsung, itu yang bikin orang tertarik,” jelas Mila.
Vika Vernanda yang juga tergabung di komunitas astronomi amatir HAAJ sama antusiasnya memantau hasil tangkapan teleskop James Webb. Kebetulan, sejak kecil dia sudah mengenal dunia penerbangan hingga lapisan langit luar bumi dari kakeknya yang seorang pilot.
”Aku paling suka sama nebula Southern Ring. Di situ kelihatan lebih tajam guratan awan dan debunya, terus bintang di dekat nebula juga jadi kelihatan. Padahal, di foto yang diambil pakai Hubble nggak kelihatan,” ujar perempuan berusia 23 tahun itu.