Senin, 22 Desember 2025

Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah Bisa Beroperasi Lagi

- Selasa, 12 Juli 2022 | 19:16 WIB
Muhadjir Effendy
Muhadjir Effendy

Pria yang akrab disapa Gus Rozin itu mengatakan, kekerasan seksual pada prinsipnya dapat terjadi di mana saja. Termasuk di ruang publik dan domestik atau rumah tangga. Termasuk di lembaga apapun. ’’Sejauh kita tahu, kasus serupa jika meningkat di lembaga pendidikan selain pesantren,’’ tuturnya.

Menurut dia setiap peristiwa kekerasan seksual, tentu tidak bisa dibaca sebagai tindakan institusional. Karenanya yang perlu dilakukan adalah penindakan terhadap pelakunya. Institusinya tetpa perlu diselamatkan. Gus Rozin mengatakan jika setiap peristiwa asusila atau pencabulan berujung penjatuhan sanksi terhadap institusi, akan ada banyak institusi yang mendapatkan hukuman.

Seperti diketahui sebelumnya, pencabutan izin pesantren Shiddiqiyyah disampaikan Kemenag setelah ada permintaan dari kepolisian. Salah satu pertimbangan Kemenag ada salah satu pimpinan pesantren yang juga anak pengasuhnya (MSAT) adalah DPO kepolisian kasus pencabulan dan perundungan santri. Selain itu pihak pesantren juga dinilai menghalang-halangi proses hukum terhadap si pelaku.

Terpisah, Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual menilai, ada arogansi yang diperlihatkan oleh pelaku kekerasan seksual dalam kasus MSAT di Jombang maupun Julianto Eka Putra (JEP) di sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) yang berlokasi di Batu, Malang, Jawa Timur.

Arogansi ini ditunjukkan keduanya dari lamanya proses hukum yang berjalan. Kasus MSAT misalnya. Anis Hidayah, Anggota Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual melihat, pelaku menunjukkan arogansi relasi kuasa karena merupakan putra pimpinan Pondok Pesantren Shiddiqiyah Ploso, Jombang, Jawa Timur. Hal ini membuat MSAT yang sudah DPO lama tak juga bisa ditangkap. Bahkan, terakhir, aparat kepolisian harus mengerahkan banyak personil untuk menangkap tersangka. ”Bagaimana pelaku itu menunjukkan arogansi relasi kuasanya sehingga polisi ditekan sedemikian rupa,” katanya dalam diskusi Darurat Kekerasan Seksual dan Penegakan UU TPKS, kemarin.

Begitu pula untuk kasus JEP. Meski nyaris satu tahun menjadi terdakwa, JEP yang diduga melakukan kekerasan seksual pada puluhan siswi di SIP tetap melenggang bebas.

Kondisi ini tentu membuat geram. Karenanya, Anis meminta agar undang-undang tindak pidana kekerasan seksual (UU TPKS) dapat segera diimplementasikan. Ia juga endorong agar pemerintah segera memproses aturan UU TPKS sehingga bisa digunakan dalam proses pencegahan maupun penanganan kasus kekerasan seksual.

Senada, Pakah Hukum Tata Negara Bivitri Susanti pun menekankan hal yang sama. ”Jangan sampai lupa, UU TPKS ini sudah bisa digunakan loh,” tegasnya dalam kesempatan yang sama.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

Hadapi Perubahan Iklim, KLH Gandeng Masyarakat Sipil

Kamis, 13 November 2025 | 17:41 WIB
X