Tiba di depan gerbang Barat Tana Toa kira-kira pukul 12:00. Saya dan rombongan disambut dengan upacara adat. Ada pula tari-tarian. Semua penyambut mengenakan busana berwarna hitam. Mulai dari celana, sarung, baju, ikat kepala, serba hitam, tanpa mengenakan alas kaki.
Setelah upacara penyambutaan, semua rombongan mengganti pakaian dengan warna hitam supaya bisa masuk ke wilayah Tana Toa. Itu syarat mutlak bagi setiap tamu yang hendak masuk wilayah adat itu. Apa lagi saya dan rombongan hendak bertemu Amma Toa, pemimpin adat tertinggi suku Kajang.
Saya dan rombongan Ekspedisi Gerakan Anak Negeri kebetulan sejak pagi di hotel sudah bercelana dan berbaju hitam. Jadi kami tinggal mengenakan ikat kepala hitam saja yang memang sudah disediakan di rumah depan gerbang. Sepatu di kaki kami, lalu dilepas.
Sedangkan rombongan perempuan, yang sudah berpakaian hitam, tinggal menambah sarung hitam. Sarung hitam itu kemudian diselimutkan melapisi celana dan baju. Lalu, melepaskan alas kaki.
Siapa pun yang memasuki wilayah adat Tana Toa memang wajib melepas alas kaki. Termasuk anak Amma Toa sekali pun.
Dalam hal alas kaki, tidak ada perbedaan perlakuan antara suku Kajang yang tinggal di Tana Toa dengan tamu yang datang dari luar wilayaha adat itu. Apa pun pangkat dan jabatannya.
Berbeda dengan di Baduy. Semua penduduk wilayah adat itu memang dilarang mengenakan alas kaki: sepatu atau pun sandal. Siapa pun orang Baduy yang melanggar, dijatuhi dihukum berat: diusir dari wilayah Baduy. Tetapi hukum itu tidak mengikat tamu dari luar Baduy. Tamu bebas mengenakan alas kaki, sepatu atau pun sandal.
Setelah semua urusan busana dan alas kaki selesai, saya dan rombongan lalu masuk ke dalam wilayah adat. Melalui gerbang Barat.