Sabtu, 10 Juni 2023

Tips Menangani MeltDown Pada Anak, Jangan Sampai Salah Tindak

- Minggu, 14 Mei 2023 | 07:10 WIB
Ilustrasi anak mengalami MeltDown. (Freepik/8photo)
Ilustrasi anak mengalami MeltDown. (Freepik/8photo)

RBG.ID - Beberapa orang sering berpikir bahwa kondisi MeltDown sama dengan Tantrum pada anak. Harap dicatat bahwa MeltDown berbeda dengan Tantrum.

Psikolog anak Saskhya Aulia Prima M.Psi mengatakan, bahwa Tantrum adalah luapan atau ekspresi emosi utama pada anak berupa kemarahan, frustasi dan depresi.

Sedangkan Meltdown terjadi karena beberapa karakteristik. Misalnya, ada masalah sensorik atau hipersensitivitas pada anak terhadap sesuatu.

Baca Juga: Raih Nilai 27, Kota Bogor Raih Juara 2 STQ 2023 Tingkat Jawa Barat

"Salah satu contoh meltdown adalah anak marah dan frustasi karena mendengar suara kencang atau ketika melihat orang banyak dan tidak beraturan," kata Saskhya

Seorang anak yang mengalami MeltDown mungkin bisa tiba-tiba berteriak. Situasi ini bisa bertahan lebih lama daripada anak yang frustrasi karena tantrum.

Selain itu, depresi tidak terjadi pada semua anak. Kondisi yang disebabkan oleh hipersensitivitas ini dapat membuat anak sulit mengatur atau mengendalikan emosinya.

Baca Juga: Sinopsis Drama Korea Dokter Cha Jeong-suk Episode 10, Choi Seung-hee Minta Kepastian

"Kalau tantrum biasanya terjadi setiap episode enggak lebih dari 30 menit. Nah, kalau terjadi lebih dari 30 menit, bisa jadi meltdown," ujar Saskhya.

"Ada kan suatu saat di hidup kita tiba-tiba enggak berhenti menangis. Itu biasanya ada meltdown tertentu tanpa tahu sumbernya," sambungnya.

Membedakan MeltDown dengan Tantrum pada anak itu cukup sulit. Saskhya menyarankan orang tua untuk segera pergi ke dokter spesialis untuk mengetahui tanda-tanda bahwa seorang anak mengalami MeltDown.

Baca Juga: Wujudkan Indonesia Cakap Digital, Siswa MAN 2 Bogor Ikuti Literasi Digital 2023

Kondisi MeltDown dan Tantrum terjadi dengan durasi, penyebab, dan intensitas yang bervariasi. Ahli profesional akan mencari penyebab MeltDown dan kemudian memberikan pengobatan, seperti terapi sensori integrasi.

"Misalnya, di beberapa anak ada sensitivitas suara keras atau tempat ramai, jadi bisa bilang ke orang tuanya untuk menghindari stimulus tersebut. Mungkin dia juga harus terapi sensori integrasi. Secara jangka panjang, ya harus ada terapi khusus kalau penyebabnya bukan karena kewajaran perkembangan," ucap Saskhya.

Halaman:

Editor: Halimatu Sadiah

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X