"Jadi, kami hanya dapat ikan sisa-sisa dari kapal besar tersebut," ucapnya.
Hal senada disampaikan nelayan lain, Suharto (45), sejak adanya kapal-kapal besar yang menangkap ikan menggunakan pukat harimau, pendapatan nelayan turun drastis. Sekali melaut, dia hanya bisa mendapat ikan sekitar 10-20 kilogram. Padahal, biasanya mereka bisa dapat hingga satu kuintal per kapal dalam sekali melaut.
"Kalau dijual bisa dapat Rp 300.000 sekali melaut. Itu belum dihitung operasionalnya, beli solar dan segala macam, bisa habis Rp 200.000. Berarti sisanya Rp 100.000, belum lagi para awak nelayan," beber Suharto.
Pihaknya berharap keberadaan kapal besar itu bisa segera ditertibkan, seperti yang dilakukan Kementerian Kelautan beberapa tahun lalu. Soalnya, dengan kemampuan kapal, seharusnya mereka mencari ikan di perairan yang jauh dari pantai.
"Dulu pernah pada takut kapal yang menggunakan pukat harimau, dan tidak ada yang berani melaut ketika jamannya Bu Susi (mantan Menteri Kelautan dan Perikanan). Saat Bu Susi sudah nggak jadi menteri, jadi banyak kapal-kapal besar menggunakan pukat harimau," sesalnya.
Selain tentang kapal besar dan pukat harimau, nelayan juga mengeluhkan sulitnya mereka memperoleh solar untuk bahan bakar kapal. Bahkan mereka harus pergi ke Karawang, lantaran tidak ada SPBU di Muaragembong.
Menanggapi keluhan nelayan tersebut, Dani mengaku telah melaporkannya ke Dinas Kelautan Jawa Barat. Sebab, persoalan laut kini telah menjadi kewenangan pemerintah di tingkat provinsi dan pusat. Kendati demikian, Dani menegaskan, akan terus mengawal usulan nelayan agar bisa segera direalisasikan.
"Saya sudah komunikasi langsung dengan Kepala Dinas Kelautan Jabar, tentang kondisi yang terjadi di Muaragembong. Memang soal pukat harimau dan keberadaan kapal besar ini, harus segera ditangani, karena menyulitkan nelayan dan juga merusak lingkungan. Maka saya dorong agar ini dapat segera diatasi," tegas Dani.