"Salah satunya mungkin dari naluri bisnisnya untuk memprediksi atau memperkirakan komunitas yang katakanlah unggul pada saat momen tertentu. Karena ada masanya seluruh petani menanam sayuran yang sama," ujarnya.
Bukan hanya itu, pola tanam dan kultur tanam yang dinilai sulit diadaptasi para petani pada umumnya, selalu saja menanam jenis komoditas berdasarkan kebiasaan, bukan berdasarkan kebutuhan pemetaan pasar.
Untuk itu, disinilah dibutuhkan peran pemerintah untuk melakukan kerja pendampingan guna memastikan kebutuhan pasar secara akurat berdasarkan ukuran waktu.
"Pemerintah seharusnya hadir dan memberikan solusi kepada para petani untuk memberikan bimbingan kepada mereka. Ini harus dilakukan agar kasus serupa tidak terulang kembali di tahun mendatang," ungkapnya.
"Apalagi, persoalan pembabatan tanaman sawi hingga para petani membiarkan hektaran lahan tanaman sawi membusuk di ladang itu, sering kali terjadi hampir setiap tahunnya," tandasnya.
Sementara itu, Petugas Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) Direktorat Perlindungan Hortikultura, Ginting Tri membenarkan terkait persoalan harga sawi caisim telah mengalami penurunan harga.
Bahkan menurutnya, bukan hanya terjadi di wilayah Kabupaten Sukabumi saja, tetapi hampir di semua daerah di Indonesia pun mengalami hal serupa. Ini terjadi karena banyaknya pasokan tanaman sawi caisim yang melimpah karena hampir di semua wilayah melakukan panen raya sawi caisim.
"Memang pada bulan-bulan ini, hampir semua daerah memasuki puncak panen raya tanaman sawi caisim. Sehingga pasokan melimpah hingga berdampak pada harga jual pun menurun," imbuhnya.