Senada dengan Airlangga, Arifin menyebut pemerintah tetap mempertimbangkan berbagai hal sebelum menetapkan kenaikan harga BBM bersubsidi. Beberapa hal itu mencakup aspek daya beli masyarakat, kemampuan pendanaan pemerintah, serta antisipasi kemungkinan meningkatnya kebutuhan energi pada akhir tahun ini.
“Ketersediaan energi terbatas, harganya bisa meningkat (karena) mau masuk musim dingin di luar (negeri) sekarang, kita harus upayakan penuhi paling nggak listrik, untuk manfaatkan maksimum capacity baseload dalam negeri,” jelas dia.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyebut, pemerintah tidak dapat langsung menambah anggaran subsidi energi, khususnya untuk stabilisasi harga bahan bakar minyak atau BBM. Pemerintah akan tetap menggunakan anggaran Rp 502,4 triliun sesuai keputusan bersama DPR RI.
Dia menjelaskan, pada dasarnya pemerintah akan mengacu kepada persetujuan DPR dalam hal penganggaran. Dengan begitu, pemerintah tidak lantas bisa mengubah besaran subsidi karena belum terdapat pembahasan maupun persetujuan dari para anggota dewan.
“Alokasinya sesuai dengan peraturan presiden itu, yang sudah di approve oleh DPR saja, sebanyak Rp502 triliun. Makanya kalau jumlahnya melebihi itu memang harus diperlukan keputusan untuk tahun ini atau meluncur tahun depan,” ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi XI, kemarin.
Dia menyebut bahwa apabila beban subsidi ternyata melebihi asumsi awal, anggarannya berpotensi mundur ke tahun depan. Artinya APBN 2023 berpotensi akan menanggung beban subsidi pada 2022.
Sejatinya kondisi itu sudah terjadi pada tahun ini, yakni pemerintah membawa (carry over) kewajiban kompensasi energi Rp 104 triliun dari 2021.
Kewajiban itu sudah dibayarkan pada semester I/2022, yang menjadi bagian dari anggaran subsidi Rp 502,4 triliun pada tahun ini.