Masa jabatan lebih dari dua ratus kepala daerah akan selesai jauh sebelum pemilu di tahun 2024. Apakah pengangkatan pejabat sementara tidak menyalahi konstitusi?
Lalu bagaimana peran DPRD? Lanjutan diskusi Indonesia Masa Depan Bang HS dengan Ricky Gerung membahas masalah besar itu. Berikut kutipannya:
Bang HS: Mulai tahun 2022 hingga 2024 nanti, ada kurang-lebih 272 kepala daerah, kabupaten, kota dan provinsi yang selesai masa jabatan. Posisi itu akan diisi oleh pelaksana tugas atau penjabat kepala daerah sementara. Analisis Bung Rocky?
Rocky: (Itu) jadi problem. Kita tidak paham bahwa presiden diperintahkan sebagai penyelenggara pemilu untuk membuka kompetisi politik. Sekarang, presiden (seolah-olah) bilang “pemimpin daerah itu, saya angkat”. Ini tidak mau kompetitif, maka (Pj kepala daerah) diangkat. Ini sudah betul-betul melanggar.
Bang HS: Presiden kan punya diskresi untuk itu?
Rocky: Ada. Kalau dikatakan (negara) dalam keadaan darurat. Tapi sekarang covid sudah tidak ada. Apalagi daruratnya? Oke (darurat) karena persiapan mungkin dalam penyelenggaraan.
Tapi menyelenggarakan pemilu itu tiga bulan bisa. Semuanya sudah ada. Kotak kardusnya masih ada. Gemboknya masih sama. KPUnya masih orang yang sama. Mentalnya masih sama. Apa susahnya (gelar pemilu?)
Saya kasih kritik, pengangkatan 272 Pj kepala daerah kalau hanya (bertugas) dua minggu masih masuk akal. Dua bulan (tugas) juga masih masuk akal. Tapi ini 2,5 tahun.
Artinya itu separuh dari tahun pemilu yang usianya lima tahun. Bagaimana mungkin demokrasi dihidupkan kalau pemimpinnya diangkat (bukan hasil pemilihan umum).
Sekarang soal teknisnya.
Teman-teman di Ambon telepon saya. Minta komentar. Salah satu kabupaten di Seram (Seram Barat), calon kepala daerahnya, yang saya kira sudah dilantik sekarang, adalah militer aktif yang punya pangkat bintang satu. Angkatan darat dengan jabatan Kabinda, kepala Badan Intelijen Daerah. Lalu orang bertanya kepada saya “apakah layak tentara aktif masuk dalam pemerintahan sipil?”
Saya bilang, bukan sekadar tidak layak. Bahkan kalau dia sipil pun, tidak boleh karena prinsip tadi. Sipil atau militer, karena ditunjuk (bukan melalui pemilihan umum) itu soalnya.
Saya dengar komentar Pak Mahfud (Menkopolhukam Mahfud MD) “oke, nanti kita lihat aturan, apakah tentara boleh masuk memimpin sipil”. Loh, bukan melihat aturannya. Dari awal sudah salah semua aturannya.
Karena tadi (tidak melalui proses demokrasi: pemilihan umum). Pak Mahfud seharusnya mengatakan bahwa seluruh proses politik pengangkatan itu bertentangan dengan konstitusi. Karena dia pernah menjadi Ketua MK (Mahkamah Konstitusi).
Bang HS: Menurut Anda, apakah itu (penunjukan) akan benar-benar terjadi?