RBG.ID -- Perbincangan terhadap revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran tahun 2024 kian memanas.
Dewan Pers bersama Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyatakan sikap tegas menolak revisi RUU Penyiaran tahun 2024.
Beberapa pasal dalam revisi RUU Penyiaran tersebut dinilai dapat mengganggu dan berpotensi menghambat kemerdekaan pers di Indonesia.
Baca Juga: BARESKRIM Turun Gunung Ikut Preteli Kasus Vina Cirebon, Tak Hanya Berharap Keajaiban
Perlu diketahui, beberapa waktu belakangan ini pemerintah bersama DPR RI tengah gencar merealisasikan revisi RUU Penyiaran.
"Kami menemukan beberapa pasal dalam RUU ini bertentangan dengan prinsip-prinsip kemerdekaan pers," ujar Asep Setiawan, Ketua Komisi Kemitraan dan Infrastruktur Organisasi Dewan Pers, dikutip RBG.ID dari BeritaSatu pada 18 Mei 2024.
Salah satu pasal yang disorot adalah larangan laporan investigasi, yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Undang-undang tersebut menegaskan bahwa pembredelan, penyensoran, dan pelarangan penyiaran tidak dapat dilakukan, karena dianggap mengintervensi kebebasan pers dalam bersuara.
"Laporan investigasi adalah bagian penting dari jurnalisme. Melarangnya berarti membungkam suara kritis dan menghambat masyarakat mendapatkan informasi yang benar," tegas Asep.
Pasal lain yang mendapat kritik adalah terkait penyelesaian kasus pers. RUU ini memberikan wewenang kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan kasus pers.
Baca Juga: Beda Laporan Awal dan BAP Kasus Vina Cirebon Kini Terbuka, Iptu Rudiana Ayah Eky Sempat Dibohongi?
Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, penyelesaian kasus pers harus ditangani oleh Dewan Pers berdasarkan kode etik jurnalistik, bukan hukum lain.
"Pemberian wewenang kepada KPI untuk menyelesaikan kasus pers berpotensi menekan kemerdekaan pers dan melemahkan peran Dewan Pers sebagai lembaga independen yang menjaga marwah jurnalisme," jelas Asep.