RBG.ID - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah memulai implementasi inovatif dalam mengendalikan Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan menggunakan teknologi nyamuk Wolbachia.
Program ini dimulai pada tahun 2023 di lima kota di Indonesia, yakni Semarang, Bontang, Kupang, Jakarta Barat, dan Bandung. Program ini mengandalkan jentik nyamuk Aedes aegypti yang telah terinfeksi dengan bakteri nyamuk Wolbachia untuk mengurangi penyebaran virus DBD.
Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, proses ini melibatkan mengawinkan nyamuk Aedes aegypti dengan nyamuk yang telah terinfeksi nyamuk Wolbachia. Hasil perkawinan ini menghasilkan nyamuk yang tidak dapat menularkan virus DBD.
Baca Juga: Rekomendasi 7 Hotel di Jakarta Dekat Stasiun MRT, Cocok Buat Nonton Konser
Selama 2023, Kemenkes melaporkan rencana penyebaran telur nyamuk Wolbachia di 101.193 titik di kelima kota tersebut, membutuhkan sekitar 12.649.125 telur nyamuk per minggu yang bersumber dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga, Jawa Tengah.
Sebelumnya, uji coba nyamuk Wolbachia telah dilakukan di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul pada tahun 2022, menunjukkan hasil yang menggembirakan dengan penurunan kasus DBD hingga 77 persen dan penurunan proporsi dirawat di rumah sakit sebesar 86 persen.
Penerapan teknologi ini di Yogyakarta juga menghasilkan penurunan signifikan dalam penyebaran DBD. Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Emma Rahmi Aryani, menegaskan bahwa jumlah kasus DBD di kota tersebut selama Januari hingga Mei 2023 berada di bawah garis minimum dibandingkan dengan pola maksimum dan minimum selama tujuh tahun sebelumnya (2015 – 2022).
Baca Juga: Viral, Motor GP Mini Mengaspal di Puncak Bogor, Begini Kata Polisi
Teknologi nyamuk Wolbachia juga telah teruji efektif di berbagai negara, termasuk Brasil, Australia, Vietnam, Fiji, Vanuatu, Mexico, Kiribati, New Caledonia, dan Sri Lanka.
Di Indonesia, program nyamuk Wolbachia ini merupakan bagian dari enam strategi penanggulangan dengue yang digalakkan oleh Kemenkes.
Efektivitas nyamuk Wolbachia telah diteliti sejak 2011 oleh World Mosquito Program (WMP) di Yogyakarta dengan dukungan filantropi yayasan Tahija.
Baca Juga: Glamping Super Cakep di Bandung, Tidur di Dekat Sungai hingga Bisa Main di Curug Sepuasnya
Mengenai keamanan, nyamuk Wolbachia adalah bakteri alami yang ditemukan pada 6 dari 10 jenis serangga. Bakteri ini mampu mengurangi replikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti, sehingga mengurangi kapasitas nyamuk tersebut sebagai vektor dengue.
Nyamuk Aedes aegypti yang berwolbachia bukan merupakan organisme hasil modifikasi genetik, karena bakteri nyamuk Wolbachia yang digunakan identik dengan Wolbachia yang ada di inang aslinya, yaitu Drosophila melanogaster.
Hasil analisis risiko yang diinisiasi oleh Kemenristekdikti dan Balitbangkes, Kemenkes, pada 2016 dengan membentuk 20 orang anggota tim independen dari berbagai kepakaran menyebutkan bahwa nyamuk Wolbachia memiliki tingkat risiko yang sangat rendah bagi manusia dan lingkungan.
Baca Juga: Datangi Pekerja Migran di Malaysia, Yenny Wahid Sebut Pasangan GanjarPranowo dan Mahfud MD Dekat dengan Rakyat hingga Komitmen dalam Penegakan Hukum
Program nyamuk Wolbachia ini, walau telah menunjukkan hasil yang menjanjikan, tetap memerlukan dukungan masyarakat dan kesadaran untuk menerapkan metode pencegahan dan pengendalian DBD lainnya, seperti gerakan 3M Plus (Menguras, Menutup, Mendaur ulang) serta menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
Studi-studi dan implementasi di berbagai wilayah menunjukkan bahwa nyamuk Wolbachia dapat menjadi cara efektif dalam mengendalikan penyebaran DBD, selama diikuti dengan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan dalam pengendalian vektor.