PT Pertamina membeberkan bahwa konsumsi pertalite tahun ini diproyeksikan mencapai 28 juta kiloliter (kl). Sementara itu, kuota yang sudah ditetapkan pemerintah hanya 23,05 juta kl.
Apalagi, harga keekonomian pertalite ada di angka Rp 17.200 per liter dengan harga jual Rp 7.650 per liter. Akibatnya, pemerintah harus menyubsidi sebesar Rp 9.550 per liter.
Mamit menjelaskan, kondisi serupa berlaku untuk solar. Harga keekonomiannya adalah Rp 18.150 per liter. Namun, harga jual masih Rp 5.150 per liter. Artinya, pemerintah harus membayar subsidi solar sebesar Rp 13.000 per liter.
’’Kita tetap dapat windfall dari kenaikan harga minyak, tapi tetap saja sebagai net importer belum cukup mampu menutup beban subsidi yang sudah ditanggung pemerintah. Windfall harga batu bara atau nikel bisa membantu menambal beban subsidi energi,’’ jelasnya.
Sebelumnya, Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan, berdasar catatan Bank Dunia, harga minyak mentah naik 350 persen dari April 2020 hingga April 2022.
Kondisi itu meningkat drastis dibandingkan saat awal pandemi yang mana harga minyak nol atau sedikit negatif.
’’Sekarang kita menghadapi situasi ekstrem yang sangat berbeda. Peningkatan 350 persen itu merupakan yang terbesar dalam dua tahun terakhir,’’ paparnya. (dee/c7/dio)