Dengan begitu, semua bekas kerajaan Padjadjaran secara langsung milik kerajaan Banten yang pada saat itu sudah memeluk Islam.
Pada perkembangannya, ada hubungan baik kerajaan Mataram dengan kerajaan Cirebon yang saat itu dibawah kendali kerajaan Banten.
Sehingga dengan kondisi tanah Sukabumi yang subur dimamfaatkan Kerajaan islam Mataram untuk pengembangan pertanian dengan sitem irigasi di Sukabumi.
Adanya hubungan baik antara Kerajaan Islam Mataram dan Cirebon menandakan bahwa proses Islamisasi di masyarakat Sukabumi berjalan dengan damai tidak memaksa.
Baru pada tahun 1900an penyebaran islam dengan menggunakan Pesantren. Pada abad tersebut, terjadi kebangkitan agama tentang pentingnya ajaran islam dalam kehidupan.
Catatan buku Karel A Steebrink, kemajuan Islam di Sukabumi ditandai beberapa unsur, pertama semakin bertambahnya masyarakat Sukabumi yang menunaikan Ibadah Haji, pesatnya pertumbungan pesantren, pembangunan Masjid-masjid baru, hingga Sukabumi dikenal daerah lain sebagai Kota Santri.
Semakin banyaknya orang yang berhaji semakin banyak juga masyarakat yang ingin mendalami ajaran islam yang lebih dalam. Seperti yang dilakukan oleh K.H Ahmad Sanusi (Tokoh Nasional) dan K.H Muhammad Hasan Basri.
Keduanya belajar langsung dari guru di Mekkah seperti dari Syaikh Nawawi Al-Bantani, Syaikh Masur Al-Madani, Said Yahya Al-Yamani, Haji Muhammad Djunaedi, Haji Abdulan Jawawi dan Syaikh Saleh Bafadil.
Kepulangan para jamaah haji dari Mekkah tentunya dijadikan masyarakat sebagai tokoh yang banyak memiliki pengalaman. Banyak diantara jamaah haji zaman dahulu terdorong untuk mendirikan pesantren, yang tadinya sudah memiliki pesantren sepulang dari haji satrinya bertambah banyak.
Melalui, pesantren-pesantren ini Ajaran Islam di Sukabumi terus berkembang. Satri yang mengaji disebuah Pesantren besar biasanya akan mendirikan pesantren baru setelah selesai menimba ilmunya. Munculnya sebutan Kyai menandakan pesatnya ajaran islam di Sukabumi.
Dalam penyebarannya, Islam di Sukabumi disebarkan dalam Bahasa Sunda. Dalam Penyebarannya, melalui pendekatan kultural dan religius, artinya pada saat itu islam disebaskan dengan cara merangkul budaya, melestarikan budaya dan menghormati budaya malah tidak menghilangkan budaya yang sudah ada.
Penggunaan ‘Gusti Nu Maha Agung dan Sang Hyang Tunggal merupakan bahasa lokal untuk menunjukan kepada Allah.
Sampai saat ini masyarakat Sunda masih menggunakan kata-kata ‘Gusti Alloh Mu Ngersakeun’ atau Kersaning Alloh yang merujuk kepada kata Allah dalam Islam. Bahkan kata Sembahyang masih digunakan untuk merujuk kepada Sholat lima Waktu. (hnd)
Artikel Terkait
Prakiraan Cuaca: Cocok Untuk Aktivitas Outdoor, Sukabumi Berawan Hingga Sore pada 11 Juni 2023
Mau Beraktivitas Outdoor Hari ini? Yuk Simak Prakiraan Cuaca Sukabumi, 12 Juni 2023
Sedia Payung! Berikut Prakiraan Cuaca Sukabumi 15 Juni 2023
Kerap Resahkan Warga, Satreskrim Tangkap Sebanyak 102 Preman di Kabupaten Sukabumi
Waspada Hujan! Simak Prakiraan Cuaca Wilayah Sukabumi Hari Minggu, 18 Juni 2023