Menurutnya, saat ini, mereka tengah disibukkan dengan upaya mengejar ketertinggalan akibat learning loss yang terjadi selama dua tahun pandemi Covid-19.
Apalagi, saat ini, pembelajaran di sekolah belum pulih sepenuhnya dari dampak Covid-19. "Saya imbau sebaiknya sekolah-sekolah maupun madrasah tidak usahlah dipakai tempat untuk berkampanye.
Biarlah mereka guru-guru juga fokus mengantar peserta didiknya untuk menebus ketertinggalan akibat learning loss kemarin saat Covid-19," tuturnya.
Dia menjelaskan, pemulihan pendidikan pasca pandemi berbeda dengan pemulihan ekonomi yang relatif mudah diukur dan dilihat targetnya. Karenanya, Mantan Mendikbud tersebut tak ingin sekolah dan madrasah yang masih memiliki tugas untuk mengejar ketertinggalan justru dipersulit dengan adanya kampanye-kampanye yang akan dilakukan di sana.
Belum lagi, imbuh dia, jumlah pemilih pemula di sekolah hanya sedikit. Lebih banyak jumlah yang belum punya hak pilih. "Jadi tak perlu repot-repot untuk datang atau mengundang kampanye untuk dilakukan di sekolah," tegasnya.
Beda halnya dengan jenjang perguruan tinggi. Muhadjir mengaku tak mempersoalkannya. Selain tingkat kesadaran atas perbedaan di kampus sudah cukup tinggi, jumlah pemilih pemula juga lebih banyak ketimbang sekolah.
Namun, dia meminta, agar kondusivitas pelaksanaannya harus betul-betul dijaga. Sehingga tidak menimbulkan kondisi yang tidak baik di kampus.
"Perguruan tinggi silakan karena konstituennya di situ. Tapi tadi itu dengan ketentuan-ketentuan yang betul-betul terukur," pungkasnya.
Anggota Komisi II DPR RI Aminurokhman menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi yang mengizinkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan. Menurut Amin, kegiatan kampanye di sekolah dan kampus dapat menjadi pendidikan politik bagi pelajar dan mahasiswa.
Pada akhirnya, kata dia, para pemuda merupakan penerus tongkat estafet yang harus diberikan ruang pendidikan politik yang berlangsung secara baik.
Politisi Fraksi Partai Nasdem itu mengatakan, generasi muda saat ini kurang mendapat pendidikan politik yang baik, sehingga kurang peduli dengan masalah di sekitarnya.
Menurutnya, daripada mereka mengetahui dari media sosial yang diframe pihak tertentu, lebih baik mereka mendengar dan melihat langsung. "Kami akan atur agar tidak mengganggu aktivitas sekolah, karena selama ini sudah melakukan sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan," tegasnya.
Legislator Dapil Jawa Timur II itu menyatakan, kegiatan kampanye di sekolah maupun di kampus harus sesuai aturan yang berlaku. Yang penting tidak boleh melakukan intimidasi, karena konteksnya proses pendidikan politik. Dan tidak boleh ada simbol partai masuk ke sekolah.
Pakar Komunikasi Politik sekaligus Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP Romo Benny Susetyo menuturkan bahwa kampanye di tempat pendidikan itu sangat memerlukan kehati-hatian dan kebijaksanaan.
Bila tidak ada rambu-ambu yang jelas dan aturan tegas justru berpotensi menimbulkan konflik antar mahasiswa dan siswa. ”Idealnya pendidikan politik diberikan oleh pihak yang independen dan netral,” paparnya.
Artikel Terkait
Mahkamah Konstitusi Usulkan Indeks Kepatuhan Lembaga Tinggi Negara
Mahkamah Konstitusi Tolak Gugatan Nikah Beda Agama
Mahkamah Konstitusi Putuskan Gunakan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka, Tetap Coblos Caleg
Parpol dan Ganjar Pranowo Mulai Latih Juru Kampanye
Pelajar SMP Muhammadiyah 2 Leuwiliang Bogor Diajak Menjadi Juru Kampanye, Begini Alasannya!
Ada Lima Penggugat Batas Usia Capres Cawapres di Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi Diminta Tunda Perkara Batas Usia Capres dan Cawapres