RBG.ID - Selama lebih dari 5 tahun terlibat baik sebagai peserta maupun pembicara dalam berbagai diskusi politik dan kebangsaan, khususnya Pemilihan Umum (Pemilu), saya mendapat satu catatan penting yang bisa menjadi bahan kontemplasi untuk siapa saja, baik individu maupun kelompok dan kelembagaan, yang aktif bergelut dalam dimensi ini.
Catatan tersebut adalah tentang hasil Pemilihan Umum, yang ingin saya tarik secara lebih spesifik pada hasil Pemilihan Presiden Indonesia.
Dari banyak diskusi formal dan non-formal yang saya ikuti, ada fenomena tentang kepercayaan publik terhadap hasil Pemilu.
Baca Juga: Telah 17 Tahun Bersama, Yoona Girls' Generation Perbarui Kontrak dengan SM Entertainment
Preferensi pemilih terhadap pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden, nampaknya sudah tidak bisa diklaim sebagai preferensi murni yang berdiri sendiri.
Ketertarikan masyarakat untuk “memihak” kepada salah satu pasangan calon, adalah fitrah demokrasi.
Namun, yang perlu kita lihat lebih jauh, preferensi politik masyarakat ini ternyata berjalan beriringan dengan sentimen negatif dan sinisme terhadap pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang lain.
Tentu, untuk melihat prosentase ini dalam bentuk kuantitatif, perlu ada riset mendalam yang bisa memotret secara akurat dan menjawab apa, siapa bagaimana dan kenapa.
Pertanyaan yang kemudian muncul, apa dampak dari adanya preferensi politik masyarakat yang sinis dan sentimental ini?
Yang jelas, jawaban yang bisa kita dapatkan dan bersifat lebih “apa adanya”, adalah jawaban yang muncul dari masyarakat akar rumput.
Sederhananya, masyarakat yang tidak terafiliasi langsung dengan calon Presiden (Capres) dan calon Wakil Presiden (Cawapres), serta bukan bagian dari anggota partai politik dan tim sukses.
Ketika kelompok masyarakat memiliki preferensi politik kepada salah satu pasangan Capres dan Cawapres, mereka cenderung melihat seluruh hal yang baik dalam diri pasangan calon.