Sehingga, argumen, pendapat, kritik, bahkan persuasinya, dipandang kurang populis bagi kebanyakan aktor politik.
Pejuang demokrasi dianggap konservatif dan naif dalam memandang sebuah realitas politik. Bagaimana realitas politik Indonesia hari ini?
Bila jawaban yang saya buat menjadi sebuah dasar, niscaya artikel ini tidak akan mampu memuat seluruhnya.
Saya singgung sedikit di antara realitas politik yang masih ada dan dilakukan, adalah politik uang, jual-beli jabatan, abuse of power, kapitalisasi SARA dalam kampanye, politik dinasti dalam semua angkatan dan dimensi, dan masih banyak realitas lain, yang ironisnya, itu semua dikehendaki dalam demokrasi kita hingga saat ini. Nir-etika yang dibudidaya!
Untuk kelompok kedua, saya menyebutnya sebagai Petarung Demokrasi. Kelompok ini adalah aktor aktor politik yang memiliki DNA pertarungan yang sudah bawaan (by default).
Sehingga, mengharapkan kelompok ini bisa hijrah menjadi pejuang demokrasi, hanyalah waktu yang benar-benar bisa menjawabnya.
Hal ini dikarenakan dalam beberapa kasus, kelompok ini banyak yang sudah dijadikan “tahanan politik” oleh oknum kekuasaan, namun mereka melakukan peran dan lobi-lobi politis yang kuat dan sangat akrobatik. Sehingga bagi mereka, tekanan politik adalah booster untuk bisa bertarung lebih agresif.
Baca Juga: Erupsi Gunung Marapi Sumbar Menelan Korban Jiwa, Sebanyak 11 Pendaki Ditemukan Tewas
Kelompok ini menyukai kondisi peperangan politik tingkat tinggi, yang bahkan, bila muara akhirnya adalah jeruji dan nyawanya sendiri, mereka siap.
Hal yang paling mereka tidak siap untuk terima hanyalah satu, yaitu kekalahan. Jumlah petarung demokrasi ini jelas jauh lebih banyak dibanding dengan pejuang demokrasi.
Sehingga ekses yang mereka ciptakan dalam ruang bernegara dan berbangsa, bisa kita saksikan dengan jelas, tanpa perlu kacamata batin sekelas sufi atau nabi, adalah berbagai pelanggaran aturan dan regulasi, yang sebetulnya mereka buat sendiri melalui ruang legislasi.
Suka tidak suka, sepakat atau tidak sepakat, kondisi politik Indonesia hari ini, begitulah adanya. Alih-alih ingin melihat tumbuh dewasanya demokrasi Indonesia, kita disuguhkan sebuah teatrikal drama yang memaksa kita untuk tertawa singkat, namun menangis berkepanjangan.