Hubungan rakyat sebagai pemilik mandat atau pemberi suara menjadi jauh dan bahkan tidak ada sama sekali.
“Dalam sistem proporsional tertutup suara rakyat seolah telah dititipkan kepada partai politik dan partai politik itulah yang kemudian akan menentukan siapa yang berhak duduk sebagai anggota dewan pada semua tingkatan,” ungkap legislator asal Kabupaten Bogor itu.
Akhirnya, kata kader partai yang duduk di lembagai legislatif pun sebatas menjadi wakil parpol saja dan bukan menjadi wakil rakyat yang sesungguhnya.
Kader partai yang duduk di lembaga legislatif tidak lebih dari seorang kader jenggot yang akarnya tumbuh ke atas dan tak memiliki basis di akar rumput pada pemilihnya.
Kader partai yang didudukan menjadi anggota legislatif pun tak lebih dari produk oligarkhis dari elit partai sehingga yang bersangkutan tak memiliki kewajiban untuk mengembalikan budi kepada warga yang secara mendasar telah memilih parpolnya.
“Karenanya, secara mendasar, upaya untuk memberlakukan kembali sistem proporsional tertutup selain merupakan sebuah langkah mundur ke zaman orde baru juga harus dipandang sebagai upaya untuk memberangus kehidupan demokrasi yang sudah semakin sehat dan maju,” jelas kang AW.
Dalam sistem proporsional terbuka, menurut dia, ketika rakyat pemilih pun difasilitasi untuk menentukan pilihannya kepada seorang caleg, berapapun nomor urutnya, maka hubungan rakyat dengan wakilnya pun menjadi dekat dan tanpa sekat.
“Daulat rakyat yang tercermin dalam pilihannya, baik pada saat memilih parpol dan atau calegnya, jauh lebih dihargai dalam sistem pemilihan legislatif proporsional terbuka,” kata Asep Wahyuwijaya.