RBG.ID - Negara-negara yang menjadi anggota Uni Eropa setuju untuk mengesahkan Artificial Intelligence Regulation Act alias AI Act. Regulasi itu dibuat dengan tujuan untuk memperketat pengawasan pada pengembangan dan penggunaan AI, khususnya dalam transparansi data yang digunakan untuk melatih AI serta akuntaibilitas AI.
Beberapa bulan kemudian, pada April 2023, anggota Parlemen Eropa memanggil Presiden Amerika Serikat, Joe Biden dan Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, untuk mengadakan pertemuan global terkait AI.
Pertemuan itu diharapkan bisa menjadi tempat diskusi tentang panduan untuk mengembangkan, mengendalikan, dan menggunakan AI, lapor Decrypt. Namun, keputusan Uni Eropa untuk membuat regulasi terkait AI justru memunculkan tantangan baru bagi OpenAI, kreator dari ChatGPT.
Baca Juga: SM Entertainment Membuka 'KWANGYA 119', Pusat Pelaporan untuk Melindungi Hak-hak Artisnya
Dalam diskusi panel di University College London, CEO OpenAI, Sam Altman mengungkap bahwa OpenAI akan berusaha untuk mematuhi AI Act. Namun, OpenAI juga skeptis pada regulasi tersebut. Karena, di bawah AI Act, ChatGPT dan GPT-4 akan masuk dalam kategori High Risk. Dengan begitu, mau tidak mau, OpenAI harus mematuhi sejumlah peraturan ekstra.
"Kami akan mencoba untuk mematuhi peraturan yang ada," kata Altman, dikutip dari TIME. "Jika kami bisa patuh pada peraturan yang ada, kami akan patuh. Tapi, jika kami tidak bisa mematuhi regulasi yang sudah ditentukan, kami akan berhenti beroperasi... Kami akan mencoba untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Tapi, kami juga punya keterbatasan teknis."
Altman merasa, AI Act yang dicanangkan oleh Uni Eropa punya cakupan yang sangat luas. Melalui regulasi tersebut, Uni Eropa bahkan bisa mengubah definisi dari general-purpose AI system.
Baca Juga: Seorang Ahli Kelautan Mengatakan Kapal Selam Wisata Titanic Terjepit di Reruntuhan Kapal
Lebih lanjut, Altman mejelaskan, satu hal yang memberatkan OpenAI untuk mematuhi AI Act adalah keharusan bagi perusahaan AI untuk mengungkap material yang digunakan saat melatih AI mereka, termasuk material yang memiliki hak cipta.
Memang, masalah hak cipta di industri AI layaknya benang kusut yang harus diurai. Pasalnya, untuk melatih AI, perusahaan perlu untuk menggunakan material dalam jumlah yang sangat banyak, baik berupa tulisan, foto, video, dan lain sebagainya. Hanya saja, tidak jarang, material tersebut memiliki hak cipta dan perusahaan AI menggunakan material tersebut tanpa izin dari sang kreator atau pemegang hak cipta.
Kekhawatiran lain yang muncul akan maraknya penggunaan AI, seperti ChatGPT, adalah kebocoran data. Di pertengahan Mei 2023, Apple memutuskan untuk melarang semua karyawan mereka menggunakan ChatGPT atau AI tools dari pihak ketiga lainnya.
Baca Juga: Link dan Cara Pembelian Tiket Fan Meeting Lee Jong Suk di Jakarta yang Dijual Hari Ini
Alasan Apple adalah mereka khawatir, AI tools yang digunakan karyawan menyimpan data perusahaan di server perusahaan lain. Hal ini memunculkan risiko data rahasia Apple bocor keluar.
"Draf dari AI Act buatan Uni Eropa sekarang ini terlalu mengekang," kata Altman pada Reuters. "Tapi kami dengar, peraturan tersebut masih akan diubah."
Artikel Terkait
Indonesia & SpaceX Luncurkan Satelit Untuk Tingkatkan Konektivitas Internet
Ini Dia MusicGen, Si Aplikasi AI Pembuat Musik
Makin Aman! WhatsApp Tambah Dua Fitur Privasi Baru, Simak Penjelasan Berikut Ini
Elon Musk Mengatakan Aplikasi Video Twitter Untuk Smart Tv Akan Segera Hadir
Apple Tunjukkan Berbagai Inovasi Berbasis AI