Menurut laporan Life Cycle Assessment (LCA), pengurangan Gas Rumah Kaca (GHG) oleh PHEV di Indonesia hanya sekitar 8% untuk segmen SUV, angka yang sangat kecil dibandingkan potensi efisiensinya di atas kertas.
Sementara itu, studi berjudul “Electric Vehicle (EV) and Driving Towards Sustainability” menegaskan bahwa efisiensi PHEV sangat bergantung pada sumber energi listrik yang digunakan untuk mengisi baterainya.
Jika listrik masih dihasilkan dari pembangkit berbasis batu bara seperti di Indonesia, maka manfaat lingkungannya akan berkurang drastis.
Baca Juga: 6 Rekomendasi Mobil Listrik Murah di Bawah Rp350 Juta, Cocok Buat Anak Muda!
Mengapa Efisiensi PHEV Tak Sesuai Klaim?
Beberapa faktor utama menjelaskan perbedaan besar antara hasil uji dan kondisi nyata:
1. Utility Factor Rendah – Banyak pengguna jarang mengisi daya mobil mereka secara rutin, membuat mesin bensin bekerja lebih sering.
2. Sumber Listrik Berbasis Fosil – Pengisian daya yang berasal dari listrik berbasis batu bara justru menambah jejak karbon.
3. Penggunaan Jarak Jauh – Mobil sering digunakan tanpa pengisian daya optimal, membuat efisiensi listrik tak berfungsi maksimal.
4. Bobot dan Kompleksitas – Baterai besar menambah berat kendaraan, menurunkan efisiensi bahan bakar.
5. Uji Laboratorium yang Tidak Realistis – Kondisi uji WLTP biasanya ideal, dengan pemakaian mode listrik tinggi yang sulit dicapai dalam kehidupan nyata.
Meski lebih efisien dibanding mobil bensin murni, mobil hibrida belum sepenuhnya hijau.
Efektivitasnya sangat bergantung pada kebiasaan pengemudi dan infrastruktur pengisian daya yang memadai.
Jika digunakan dengan disiplin, PHEV bisa menjadi langkah transisi menuju kendaraan listrik penuh.
Namun, selama listrik Indonesia masih didominasi energi fosil, kendaraan hybrid belum dapat disebut solusi hijau yang ideal.***