Adam dan Rama yang sudah bangun pun ikut bersiap siap, saya mencoba memastikan Adam sama Rama hangat dalam perjalanan dan headlamp yang dipakai tidak masalah. Setelah memastikan anak anak, saya berdiskusi kecil sama istri. “Siap ya bun, yakin kita bisa sampai puncak,” kata saya meyakinkan istri saya yang masih tampak ragu. “Insyaallah yah,” jawab istri saya.
Waktu menunjukan pukul 00:00, seluruh pendaki dari Sumsel, Sidoarjo, Sumut dan Bogor berkumpul menjadi satu di luar pos Kalimati yang dinginnya mencapai 8 derajat celcius. “Sebelum kita memulai pendakian, kita berdoa menurut kepercayaan dan keyakinannya masing masing, berdoa mulai,” kata Arlan mengawali doa.
Barisan keluarga saya berada di tengah-tengah rombongan, istri saya berada di depan, dilanjut Rama, Adam dan kemudian saya. Berjalan setapak demi setapak di kegelapan malam, bau kayu terbakar sisa kebakaran hutan sangat menyengat hidung. Penutup hidung yang terpakai pun tidak mempan untuk menghilangkan bau asap kayu yang terbakar.
Pendakian semakin jauh, beberapa pendaki terseleksi dalam barisan sesuai kemapuan fisiknya. Anak kedua saya Rama sudah jauh duluan bersama Arlan, sedangkan saya selalu setia berada di belakang istri dan anak pertama saya Adam. Setelah melewati batas vegetasi, medan pendakian semakin berat. Jalur yang kita lewati pasir yang sangat gembur dengan kemiringan mencapai 70 derajat. Setiap kali kita melangkah pasti merosot lagi kebawah dan begitu seterusnya. Perbandingannya, 5 langkah kaki kita hanya bisa menghasilkan 1 langkah.
Dengkul ini terasa tersiksa sekali, belum lagi nafas yang tersengal sengal karena berada di ketinggian 3100 Mdpl dengan kadar oksigen yang tipis, ditambah lagi suhu ekstreem yang mencapai 4 derajat celcius. “Diam salah, bergerak capek,” dumal saya dalam hati.
Anak bungsu saya Rama yang jalan duluan dengan Arlan nampak lelah sekali, dia tertidur sambil menggigil menunggu saya, istri dan adam. “Ade nungguin lu bro, dia kecapean. Udah istirahat aja dulu sampe matahari terbit. Gw nyusul Oleng di depan,” kata Arlan.
“Ade…Ade.. bangun de, ayo kita jalan lagi cari tempat yang nyaman untuk istirahat,” kata saya sambil membangunkan Ade Rama di kegelapan malam.
Sebelum melanjutkan, saya membuka oksigen yang sengaja saya bawa, satu per satu oksigen dihisap oleh keluarga saya dengan harapan bisa memulihkan kondisi fisik dan menambah konsentrasi dalam perjalanan.