Kasus tersebut ramai menjadi perbincangan di industri teknologi global sebab, menimbulkan pertanyaan tentang batasan kebebasan berbicara di ranah online, pengawasan platform media sosial, dan apakah pemiliknya bertanggung jawab secara hukum atas perilaku kriminal pengguna.
Peneliti senior di Citizen Lab, Universitas Toronto John Scott-Railton mengatakan bahwa perubahan kebijakan terbaru itu membuat banyak kekhawatiran di kalangan komunitas pengguna Telegram.
"Banyak yang sekarang mencermati pengumuman Telegram dengan pertanyaan mendasar. Apakah ini berarti platform tersebut akan mulai bekerja sama dengan pihak berwenang di rezim yang represif?," ujar John.
Pakar keamanan siber itu mengatakan, meskipun aplikasi perpesanan tersebut telah menghapus beberapa kelompok, sistemnya jauh lebih lemah dalam memoderasi konten ekstremis dan ilegal dibandingkan perusahaan media sosial dan pesaing. (*)