RBG.ID - Mahmoud Darwish adalah seorang penyair Palestina sekaligus aktivis terkenal yang menyuarakan perjuangan untuk tanah airnya melalui puisi.
Mahmoud Darwish dibenci oleh Israel, padahal cinta monyet pertamanya adalah seorang gadis kecil Israel.
Melalui kata-katanya, puisi Mahmoud Darwish menjadi ancaman yang menakutkan dan serius bagi Israel.
Baca Juga: Fuji dan Asnawi Mangkualam Diduga Jalan Bareng ke Rumah Raffi Ahmad, Nagita Slavina Langsung Istighfar
Mahmoud Darwish yang lahir pada 13 Maret 1941, di al-Birwa, Palestina ini memiliki segudang pegalaman yang pahit atas penderitaan bangsanya melawan Israel.
Berdirinya Israel pada 1948, membuat Mahmoud Darwish dan keluarganya serta ratusan ribu penduduk Palestina terusir dari tanah kelahirannya.
Peristiwa tersebut dikenal dengan sebutan 'Nakba' yang memiliki arti bencana.
Kala itu penduduk Palestina kehilangan hak-haknya dan terpaksa melarikan diri ke negara lainnya atau mengungsi.
Dilansir dari Al-Jazeera, satu tahun kemudian, Mahmoud Darwish dan keluarganya kembali ke kota asalnya di Palestina secara sembunyi-sembunyi.
Mirisnya, mereka menjadi penduduk asing di negerinya sendiri.
Mahmoud Darwish pun bergabung dengan partai komunis Israel dan memulai untuk mempublikasikan puisi-puisi ciptaannya di surat kabar kiri.
Dilansir dari Poetry Foundation, pada 1960-an Mahmoud Darwish pernah dipenjara karena membacakan puisi dan bepergian dari desa ke desa tanpa izin.
Mahmoud Darwish dianggap sebagai penyair perlawanan, dan ditempatkan di bawah tahanan rumah ketika puisinya "Identify Card" dijadikan lagu protes.
Meskipun puisi-puisinya membuatnya dianiaya oleh otoritas Israel, tetapi Mahmoud Darwish sangat dihormati oleh masyarakat Arab.
Baca Juga: Pengamat Sebut Prabowo Bakal Rugi Besar Jika Gaet Gibran Rakabumi Jadi Cawapres
Sebab, puisi-puisi karya Mahmoud Darwish mewakili isi hati mereka, yakni mengenai keadilan, kedamaian, dan kebebasan.
Kamudian pada 1970-an, Mahmoud Darwish pergi belajar di Uni Soviet selama setahun, dan ke Mesir dan bekerja untuk surat kabar Al-Ahram.
Selanjutnya, Mahmoud Darwish tinggal di Beirut, Lebanon, dan bekerja sebagai penyunting jurnal Palestina Issues.
Akan tetapi pada 1982 Mahmoud Darwish terpaksa meninggalkan posisinya setelah invasi Israel.
Mahmoud Darwish menjalani kehidupan pengasingan di beberapa negara, termasuk Paris, Prancis.
Baca Juga: Menuju Ending, Ini Teori Akhir Drama The Worst of Evil yang Dibintangi Ji Chang Wook dan Wi Ha Joon
Tidak hanya menulis, Mahmoud Darwish juga aktif di Pusat Politik Palestina sejak 1970.
Pada 1973, Mahmoud Darwish gabung sebagai anggota Organisasi Pembebasan Palestina atau Palestinian Liberation Organisation (PLO).
Dalam organisasi tersebut, Mahmoud Darwish memainkan peran yang cukup penting.
Mahmoud Darwish membuat Deklarasi Kemerdekaan di Aljir, Aljazair dan menuliskan sambutan yang terkenal ketua PLO Yasser Arafat kepada Sidang Majelis Umum PBB pada 1974.
Kemudian pada 1987 Mahmoud Darwish menjadi anggota komite eksekutif PLO dan menulis Deklarasi Kemerdekaan Palestina.
Baca Juga: Diusung Golkar Jadi Cawapres Prabowo Subianto, Segini Harta Kekayaan Gibran Anak Presiden Jokowi
Namun pada 1993, Mahmoud Darwish mengundurkan diri sebagai protes terhadap pendatanganan Perjanjian Oslo di Washington oleh Yasser Arafat.
Pada 1996, Mahmoud Darwish diizinkan kembali ke Ramallah atau Tepi Barat dan memulihkan jurnal Al Karmel yang awalnya didirikan pada 1981.
Tetapi harus terhenti pada tahun berikutnya karena invasi Israel ke Beirut.
Pada 2000, Menteri Pendidikan Israel merencanakan untuk memasukkan puisi-puisi karya Mahmoud Darwish ke dalam kurikulum sekolah.
Namun, Perdana Menteri Israel, Ehud Barak, menentang rencana tersebut.
Baca Juga: Auto Pingsan, Mas Agung Choi Siwon Jadi Juri Tamu di MasterChef Indonesia, Tayang Hari Ini
Selama hidupnya, Mahmoud Darwish menulis beberapa buku prosa, termasuk memoar Yawmiyyāt al-ḥuzn al-ʿādī (1973; Journal of an Ordinary Grief) dan Dhākirah lil-nisyān (1987; Memory for Forgetfulness).
Selain itu, terdapat lebih dari 20 koleksi puisi yang diciptakan Mahmoud Darwish dan telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa.
Dalam puisinya, Mahmoud Darwish mencampurkan kisah Palestina dengan mitologi, sejarah, dan penderitaan.