Menikmati indahnya Desa Wae Rebo diperlukan kesabaran dan perjuangan yang tak mudah.
Terlebih, penggunaan kendaraan juga sangat tidak memungkinkan untuk mengantar wisatawan hingga ke desa yang berada di puncak gunung itu.
Wisatawan harus melakukan pendakian kurang lebih selama 2 jam dari Desa Denge untuk sampai di Desa Wae Rebo.
Lantaran sulitnya akses dan petunjuk menuju Desa Wae Rebo, wisatawan selalu dianjurkan untuk menggunakan jasa penunjuk jalan.
Tantangan untuk mencapai Desa Wae Rebo tak hanya itu, rupanya ada beberapa aturan yang mesti dipatuhi.
Salah satunya harus membunyikan sebuah alat tradisional yang terbuat dari bambu yang bernama Pepak. Bentuknya sama persis dengan kentongan.
Membunyikan alat Pepak menjadi sebuah isyarat, Desa Wae Rebo sedang kedatangan tamu.
Sebuah tradisi yang unik dan jauh berbeda dengan nuansa hidup di kota-kota besar di Indonesia.
Adanya Desa Wae Rebo di puncak gunung, tidak mungkin muncul begitu saja.
Sejarawan asal Pulau Flores yang kini menetap di Ruteng, Servulus Erlan de Robert, menyatakan masyarakat Wae Rebo meyakini kampung mereka didirikan oleh seorang tokoh bernama Maro.
Berdasarkan tradisi, Desa Wae Rebo telah berdiri sekitar 1080 tahun, di mana perhitungannya berdasarkan jumlah generasi masyarakat yang telah memasuki generasi ke-18.
Suku masyarakat Wae Rebo rupanya tidak selaras dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur, masyarakat desa itu mengklaim dirinya berasal dari keturunan Minang, tepatnya dari Sumatra Barat.