Idris mengaku, heran dengan sikap Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kemendagri, yang tidak menyetujui diundangkannya Raperda PKR di Kota Depok tersebut.
“Padahal ranahnya kita tidak mengatur orang pakai jilbab atau mengatur salat itu tidak, tetapi masalah kerukunan umat beragama, kedamaian, kekompakan, dan toleransi,” jelas Idris.
Idris mengatakan, jika Pemkot Depok memiliki perda tersebut bisa melakukan sejumlah upaya seputar keagamaan. Seperti melakukan survei keberagaman umat beragama dan toleransi masyarakat.
Jika ada Perda itu, Pemkot Depok bisa mengatur belanja langsung di Badan Perencanaan Pembangunan dan Pengembangan Penelitian (Bappeda) untuk survei.
“Namun kalau sekarang kami ingin melakukan survei dan menunjuk pelaksanaannya tidak bisa karena tak punya perda, nanti akhirnya hibah, dan hibah ini sekarang ketat, syarat-syaratnya dan laporannya itu tidak main-main, harus hati-hati, bisa kejebak kita dengan permainan-permainan hibah, itu maksud dari perda ini,” beber Idris.
Namun begitu, Idris mengaku bakal tetap keukeuh memperjuangkan Raperda PKR itu disahkan menjadi Perda sebelum masa jabatan berakhir. Dirinya akan meminta draft Raperda PKR ke Kemendagri.
“Sebelum saya turun (habis jabatan Wali Kota Depok), saya akan minta ke sana (Kemendagri), termasuk dengan menteri agama saya minta rekomendasi untuk tolong dibantu,” tandas Idris. (dra/jpnn/rd/tem)