Rama bangun, tidak banyak bicara dia melanjutkan perjalanan dengan tertatih tatih bahkan cenderung merangkak. Istri saya juga sudah mulai frustasi, tampak lelah dan menyesali dirinya ikut pendakian.
“Kata bunda juga apa jangan dipaksa, begini kalau dipaksa,” ketus Istri saya kepada saya. “Sabar dan tabah aja bun sampai puncak, ini resiko pendakian ke Semeru,” kata saya menenangkan istri saya.
Setelah berjalan beberapa meter, ada sebuah gundukan pasir yang cocok dijadikan tempat istirahat karena bisa menghalau angin dari arah atas. “Kita istirahat disini bun,” kata saya dengan nada pelan.
Anak saya Rama di posisi paling ujung, kemudian istri saya, diapit oleh Adam kemudian saya. Saya langsung mengeluarkan emergency blangket untuk melawan dingin yang mencapai 4 derajat celcius. “Sudah tidur dulu aja, sampai mataharti terbit,” kata saya.
Istri dan anak saya Adam menggigil luar biasa, “Yah dingin banget yah,” kata Adam berulang kali. Berkali kali pula saya peluk Adam untuk menghangatkan dan memastikan emergency blangket dan sleeping bag emergency tertutup rapat.
Tapi melihat Rama, dia tertidur tenang membuat saya khawatir kalau ada apa apa dengan Rama. “Ade…ade…ade bangun de,” kata saya memastikan anak saya tidak apa apa. “Ada apa yah,” sahut ade. “Kamu dingin ga de,” kata saya. “engga yah,” jawab ade. “ya udah istirahat aja dulu, sampe matahari terbit,” kata saya.
Saya sendiri saat itu tidak bisa tidur karena menggigil luar biasa menahan dingin. Melihat jam tangan waktu masih menunjukan pukul 3:30 WITA, saya liat thermometer menunjukan angka 4 derajat celcius dengan ketinggian 3150 Mdpl. Saya berusaha tidur, tapi tidak bisa karena dingin yang menusuk tulang.