Yusfitriadi memaparkan, sangat mungkin kondisi tersebut murni sebuah kesalahan penyelenggara pemilu, atau bisa jadi sesuatu yang disengaja untuk kepentingan politik tertentu.
Ia menduga, bisa jadi kondisi tersebut merupakan salah satu skenario untuk mendelegitimasi penyelenggaraan pemilu 2024.
Apalagi, tegas dia, sejumlah kemungkinan itu tidak bisa dijawab oleh KPU hanya dengan meminta maaf atau hanya bisa dijawab oleh Bawaslu dengan "nanti kita analisia dulu".
"Untuk menjawab kemungkinan tersebut hanyalah dengan proses hukum. Karena hanya melalui proses hukum, seluruh elemen yang berkepentingan dengan pemilu dan seluruh rakyat indonesia bisa mendapatkan kepastian hukum," papar dia
Salah satu dari tiga kemungkinan tersebut akan memiliki konsekuensi yang sangat signifikan dan sangat berbahaya.
Jika fenomena-fenomena tersebut murni kesalahan Penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU, berarti KPU sudah menapikan prinsif penyelenggaraan pemilu yang profesional dan akan sampai kapan ketidakprofesionalan tersebut dipertunjukan oleh KPU.
Begitupun ketika kejadian tersebut ada unsur kesengajaan dari pihak-pihak terkait, baik KPU maupun penyedia surat suara maka akan berdampak pada pidana pemilu dan pidana umum.
Apalagi jika terjadi sebuah skenario yang bertujuan untuk mendelegitimasi penyelenggaraan pemilu, hal itu akan memiliki konsekuensi yang signifikan dari berbagai sudut pandang, termasuk arah skenario tersebut dan konsekuensi hukumnya.
Namun, sampai saat ini, penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, tidak memperhatikan dua peristiwa tersebut dengan serius, seolah-olah berbagai kesalahan tersebut adalah hal biasa.
Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa beberapa hal itu akan memiliki kepastian hukum di antaranya.
Pertama dan terpenting, KPU harus mengakui ketidakmampuannya untuk bertindak secara profesional.