Dikutip RBG.id dari HukumOnline pada Jum'at (12/7), nikah siri tanpa izin istri bisa dianggap sah selama memenuhi syarat dua saksi dan wali nikah yang sah.
Artinya, pernikahan Aya Ibrahim dengan janda berusia 19 tahun tersebut bisa saja sah menurut agama.
Informasi kepada istri sebelumnya atau keluarga tidak mempengaruhi sah atau tidaknya sebuah pernikahan siri, karena bukan termasuk syarat sah nikah.
Baca Juga: Cuma Modal Rp3000! Begini Cara Membersihkan Kerak di Tungku Kompor Gas Murah dan Aman
Namun, selain memenuhi syarat nikah, pasangan suami istri juga wajib mencatatkan perkawinannya di Kantor Urusan Agama (KUA) dan mendapatkan buku nikah sebagai bukti pencatatan perkawinan.
Hal tersebut dimuat dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, yang menyatakan bahwa setiap perkawinan harus dicatat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Karena pernikahan siri tidak dicatatkan ke KUA, pasangan suami istri yang menikah secara siri tidak memiliki buku nikah sebagai bukti pernikahan yang telah diakui oleh negara.
Di sisi lain, dalam KUHP, perbuatan suami yang melakukan poligami tanpa izin pengadilan adalah tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 279 KUHP.
Pasal tersebut menyatakan bahwa barang siapa melangsungkan pernikahan padahal mengetahui bahwa pernikahan sebelumnya menjadi penghalang yang sah, diancam dengan pidana penjara maksimal lima tahun.
Jika pelaku menyembunyikan pernikahan sebelumnya yang menjadi penghalang yang sah, diancam dengan pidana penjara maksimal tujuh tahun.
Disebut dalam KUHP baru Pasal 402 UU 1/2023 yang akan berlaku pada tahun 2026, poligami tanpa izin istri diatur dapat dihukum dengan ancaman pidana penjara maksimal empat tahun enam bulan atau denda paling banyak kategori IV.
Apabila seseorang kedapatan menyembunyikan pernikahan yang ada menjadi penghalang yang sah, orang tersebut dapat diancam dengan pidana penjara maksimal enam tahun dan/atau denda paling banyak kategori IV.
Menurut hukum Islam, poligami sirri tanpa izin istri pertama diperbolehkan (mubah) dengan beberapa syarat yang ketat.
Poligami ini sebenarnya diatur untuk situasi darurat sosial, bukan dalam keadaan normal atau darurat individual, dan hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat yang benar-benar mendesak.