Di mana untuk memastikan bahwa kepala daerah yang melakukan gugatan, adalah kepala daerah angkatan yang Pilkadanya pada 2018 dan dilantik 2019. “Itu point pertama,” kata Bima Arya.
Menurut dia, para pemohon menguji Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Para pemohon merasa dirugikan dengan Pasal 201 ayat 5 UU Pilkada, karena pasal tersebut mengatur masa jabatan hasil Pilkada 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.
Padahal, para pemohon mengaku dilantik pada 2019, sehingga terdapat masa jabatan yang terpotong mulai dari 2 bulan hingga 6 bulan.
“Kedua, kami pastikan bahwa ini ada kekosongan norma, artinya yang diatur di pasal 201 lebih kepada waktu pemilihan tidak menjelaskan masa jabatan,” ucapnya.
Makanya, Bima Arya menilai ada kekosongan norma. “Dan kami pastikan tidak mengganggu keserentakan tadi. Sebagai contoh pak Marten Taha Walikota Gorontalo ini yang paling ujung masa berakhirnya, yaitu Juni 2024. Kalaupun Pilkadanya dimajukan di September, maka Insya Allah tidak akan mengganggu tahap keserentakan tadi,” papar Bima Arya.
Point berikutnya, kata Bima Arya, mereka melihat bahwa pejabat wali kota, bupati, hingga pejabat gubernur dalam hal ini merupakan langkah politik yang sifatnya lebih kepada kedarutatan, dalam rangka penyesuaian keserentakan.
“Artinya manakala siklus tidak mengganggu keserentakan, maka semestinya pejabat definitiflah yang lebih bisa menjalankan pemerintahan secara ideal,” imbug dia
Dalam hal ini, Bima Arya kembali menekankan hal yang dinilainya sangat penting, adalah penuntasan program kerja, dan janji politik terkait dengan haknya dan juga hak warga Kota Bogor.
Kedua, adalah memastikan kesinambungan perencanaan pembangunan pada tahun politik.
“Jadi ada rencana pembangunan jangka panjang 2020-2045, yang harus kami evaluasi dan diputuskan. Kalau dilakukan oleh Pejabat Wali Kota, pejabat Bupati tentu berbeda, saya kira itu pointnya,” ucapnya.
Lebih lanjut, Bima Arya menjelaskan, bahwa perlu ada penjelasan atau tafsir kontistusional dari MK, agar haknya dianggap tidak tercederai.
“Kira-kira begitu. itu dari kami dan tadi ada beberapa masukan perbaikan dari hakim dari Yang Mulia dan sifatnya teknis, kami akan melengkapi itu untuk menunjukan bahwa betul-betul tahapan keserentakan di 2024 itu tidak terganggu apabila masa jabatan kami ini tetap full penuh,” jelasnya. (ded)